Suasana Timbang Rasa (Sarasehan) dengan tema “Bali sebagai Ajang Cipta dan Apresiasi Sinema” (Tinjauan, Tantangan, dan Peluang). (BP/wulan)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bertempat di Wantilan, Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis (28/7), dilangsungkan Timbang Rasa (Sarasehan) dengan tema “Bali sebagai Ajang Cipta dan Apresiasi Sinema” (Tinjauan, Tantangan, dan Peluang). Narasumber dihadirkan via zoom, yakni Sofia Setyorini (Impact Producer) dan Yosep Anggi Noen (Sutradara Film, Peraih Penghargaan Nasional dan Internasional) dengan dimoderatori I Ketut Eriadi Ariana (Jurnalis dan Pelaku Seni Budaya).

Dalam sarasehan yang merupakan salah satu rangkaian Festival Seni Bali Jani (FSBJ) V ini, Yosep menceritakan pengalamannya secara pribadi menonton film di Bali. “Ketika tahun 2010 saya menghadiri festival film di Rotterdam, Belanda, saya melihat satu film Bali yang bercerita tentang proses mengawinkan babi. Saat itu Bali dalam imajinasi saya berbeda dengan apa yang tersaji dalam film tersebut. Dan itu memberi nuansa atau pandangan lain terhadap cara saya melihat Bali ini sendiri,” jelasnya.

Baca juga:  Tindak Geng Motor, Polresta Akan Terapkan "Sammpat Lidi"

Saat kesempatan lain, ia pernah menjadi penyeleksi proposal film tentang Bali. Ia menyebutkan salah satu produksi original film Netflix Indonesia dibuat di Bali berjudul A Perfect Fit.

“Segala sesuatu yang becerita dengan latar Bali itu menunjukkan Bali kuat sekali ciri khas tradisinya. Jadi kita bisa melihat semua bahwa hampir semua film yang saya tonton tentang Bali itu, menunjukkan sebagian masih memelihara tradisi-tradisi nya,” ucapnya.

Baca juga:  Hilangkan Potensi Pungli, SIM Keliling "Goes to Campus"

Ia pun mengatakan jika Bali punya mimpi untuk menjadi bagian ekosistem perfilman internasional, yang harus dilakukan adalah membangun basis penonton yang kuat. “Karena tidak ada satu ekosistem industri di manapun yang bisa berdiri tegak tanpa ada ekosistem penonton yang kuat,” jelasnya.

Sementara itu, Sofia memaparkan terkait dampak produksi serta bagaimana ia bekerja sama dengan Minikino. “Pekerjaan saya menyusun strategi bagaimana film ini bisa menciptakan dampak di masyarakat, melalui isu-isu yang kita angkat melalui film,” jelasnya.

Baca juga:  Romansa Era Kolonial Diangkat di "Sara & Fei, Stadhuis Schandaal"

Ia menuturkan awal perkenalannya dengan Minikino pada 2005. Minikino ini sebuah lembaga film yang didirikan pada 2002 yang bergerak untuk mengembangkan film, terutama jenis film pendek.

Terkait keinginan menjadikan Bali sebagai destinasi film, ia menilai masih banyak PR yang harus dilakukan. Ia pun menceritakan pengalamannya dengan Minikino yang berjuang untuk mencari penonton di Bali. “Ada banyak PR yang harus dilakukan untuk membuat Bali sebagai destinasi film,” ucapnya. (Wulan/balipost)

BAGIKAN