Kurniawan Adi Santoso. (BP/Istimewa)

Oleh Kurniawan Adi Santoso

Anak masuk Sekolah Dasar (SD) tanpa tes membaca, menulis dan berhitung (calistung). Kebijakan ini tertuang dalam Merdeka Belajar Episode ke-24 yang mengambil tema “Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan”. Menurut Mas Menteri, usia sebelum SD terhitung masih sangat muda untuk menguasai calistung. Tapi, apakah kebijakan ini akan dipatuhi oleh pihak SD?

Selama ini tak sedikit SD yang masih memakai tes calistung sebagai syarat anak masuk SD. Ini yang kemudian jadi sebab pembelajaran di jenjang TK difokuskan mengejar kompetensi calistung. Tanpa disadari hal tersebut sebenarnya malah mengganggu tumbuh kembang anak.

Begini, otak manusia memiliki 2 bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan. Kedua otak ini dihubungkan oleh bagian yang bernama corpus callosum atau sering disebut super highway of learning. Yang fungsi utamanya memfasilitasi koordinasi otak kiri dan kanan.

Dalam kehidupan manusia banyak kegiatan yang memerlukan koordinasi antara otak kiri dan kanan. Salah satunya adalah membaca dan menulis. Artinya, dalam kegiatan membaca dan menulis, anak perlu peran corpus callosum.

Umumnya corpus callosum ini baru berkembang secara penuh pada usia 7 tahun. Anak yang dipaksa calistung pada usia 2-5 tahun yang perkembangan corpus callosum-nya belum siap, cenderung akan mengalami trauma. Hasilnya anak memang akan bisa membaca, tetapi tidak dengan cinta membaca. Bisa menulis, tapi cenderung tidak mampu menghasilkan tulisan yang berkualitas. Hal seperti inilah yang tentu tidak kita harapkan.

Baca juga:  Pendakian dan Jalan Pulang Sang Maestro 

Lagi pula, dengan Kurikulum Merdeka kini capaian pembelajaran (CP) di SD Kelas 1 pada semester pertama untuk Bahasa Indonesia tak lagi menuntut anak untuk bisa membaca dan menulis lancar. Kita bisa lacak dari CP untuk membaca, yakni peserta didik mampu bersikap menjadi pembaca dan pemirsa yang menunjukkan minat terhadap teks yang dibaca atau dipirsa. Itu artinya, anak hanya fokus pada penanaman minat baca. Ini penting, karena harus kita tanamkan cinta membaca sejak dini.

Kemudian tahap lanjutannya, peserta didik mampu membaca kata-kata yang dikenalinya sehari-hari dengan fasih. CP ini yang dulunya diajarkan di TK. Tahap membaca permulaan. Sekarang baru diajarkan di SD Kelas 1 awal. Ini berarti selaras dengan tingkat kemampuan otak anak usia 7 tahun.

Sedangkan untuk CP menulis, peserta didik mampu menunjukkan keterampilan menulis permulaan dengan benar. Tahap lanjutannya, peserta didik mengembangkan tulisan tangan yang semakin baik. CP ini berarti mengajak anak untuk siap menulis dengan baik. Menulis adalah sebuah keterampilan. Jadi, di kelas 1 SD awal penting ditekankan sikap dan cara yang benar dalam menulis. Bukan langsung diajari menulis kata-kata.

Baca juga:  Anomali Vaksinasi Bali

Keputusan Mendikbudristek

Maka itu, pihak SD semestinya ikuti Keputusan Mendikbudristek tentang penghapusan tes calistung. Setelah itu ditindaklanjuti, bagi pihak SD, terutama guru kelas 1 haruslah mendasarkan pembelajaran pada CP Kurikulum Merdeka. Bahwa anak masuk kelas 1 tidak dituntut untuk bisa calistung. Maka, guru bisa memulai pembelajaran dengan memakai assesmen diagnostik. Sehingga akan diperoleh informasi awal soal kemampuan anak baik dari segi kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Yang kemudian guru bisa menerapkan pembelajaran berdiferensiasi (berdasar kebutuhan siswa).

Selain itu, guru perlu mencermati buku-buku bacaan bagi siswa kelas awal SD, terutama kelas I. Demikian juga soal-soal ujian, baik evaluasi tengah semester maupun evaluasi akhir semester. Semua itu harus disesuaikan agar ramah calistung bagi siswa kelas I.

Bagi pihak guru-guru di PAUD/TK, harus mengubah pola mengajarnya yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak. Para guru PAUD/TK perlu mendasarkan pembelajaran yang mendukung kesiapan anak untuk sekolah dan melanjutkan ke level pendidikan lebih tinggi. Seperti mendasarkan pada aspek sosio-emosional, kognitif, bahasa, fisik motorik, dan kemampuan eksekusi (bisa mengambil keputusan dan tahu hal yang harus dilakukan dalam konteks situasi tertentu).

Baca juga:  Pemilu, Pilihan Pelangi dan Partai "Konglomerat"

Karena itu, pembelajaran calistung hendaknya dikemas dalam kegiatan yang aktif, interaktif dan bukan berupa latihan terus-menerus (drilling).

Intinya, tidak perlu kita paksa anak untuk menghafal angka dan huruf di usia dini. Agar kelak anak tak menganggap calistung sebagai hal yang membosankan. Di PAUD/TK, yang lebih dikembangkan adalah kemampuan psikomotorik dan afektifnya. Sebagai contoh, kemampuan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan sebagainya.

Sedangkan dari pihak orangtua, sesungguhnya mereka juga hanya perlu membangun kesiapan anak belajar calistung. Makanya, orangtua sebaiknya memberikan stimulasi ringan melalui lingkungan keluarga terkait pengenalan dasar calistung (lewat bernyanyi, mendongeng, dll.). Ada baiknya juga, orangtua dan guru PAUD/TK dapat berkolaborasi dalam pengasuhan stimulasi calistung. Dengan begitu, mereka punya persepsi yang sama soal konsep calistung siswa TK/PAUD yang berbeda dengan konsep calistung siswa SD.

Akhir kata, kini dengan Kurikulum Merdeka yang membiarkan anak tumbuh sesuai kodratnya. Kurikulum yang memerdekakan anak dari tuntutan akademis yang terlalu dini. Sudah tidak ada alasan lagi untuk memaksa anak belajar calistung sebelum mereka siap. Maka, guru SD, guru PAUD/TK, orangtua, dan masyarakat berperan besar agar masa transisi dari PAUD/TK ke SD dapat menyenangkan.

Penulis, Guru SDN Sidorejo Kab. Sidoarjo, Jatim

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *