Salah satu pembuat arak melakukan produksi dengan cara tradisional di atas tungku atau jalikan. (BP/gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Konsumsi arak Bali belakangan mulai naik, setelah Pemprov Bali, terus mempromosikan untuk mengkonsumsi arak secukupnya. Bahkan, dibuatkan Hari Arak Bali setiap 29 Januari.

Situasi ini membuat produksi arak, khususnya arak tradisional tetap eksis, meski terus menerus digempur produksi arak yang dilakukan secara lebih modern. Produksi arak tradisional dilakukan di sejumlah desa, salah satunya Desa Besan, Kecamatan Dawan, Klungkung.

Sejak dulu sampai sekarang, secara turun temurun, warga di lereng bukit ini masih konsisten memproduksi arak Bali. Masyarakat setempat mengelola atau mendestilasi nira kelapa secara tradisional di dapur rumahnya masing-masing untuk menciptakan minuman keras ini dengan kadar alkohol 15-sampai 25 persen.

Salah satu perajin arak Komang Ayu Sugianti, Jumat (27/1) mengaku untuk sekali produksi menghabiskan bahan baku sebanyak 30 liter nira kelapa. Dari bahan itu, dihasilkan kurang lebih 10 liter atau 15 botol kemasan arak.

Baca juga:  Progres Penataan Pantai Sanur Hampir 50 Persen

Hasil tersebut didapatkan dua atau tiga kali seminggu. Sementara untuk pemasaran masih mengandalkan pengepul atau menjual langsung di warung-warung secara mandiri, karena peminatnya juga cukup banyak.

Walaupun arak Bali sudah menjadi warisan budaya dan dilindungi pemerintah, namun, arak tradisional ini tidak bisa berkembang cepat memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas. Sebab, pengecer lebih tertarik memilih arak gula yang diproses secara modern dan dengan harga yang lebih murah.

Ini menjadi kendala yang sulit dihadapi para perajin arak tradisional, yang memproduksi arak murni. “Dari dua ember nira ini, jika jadi arak, sebanyak 15 botol dengan kadar aklohol 10-15 persen. Produksinya kadang dua hari sekali, tiga hari sekali tergantung ada bahan baku nira. Kalau kadar alkohol sampai 15 persen harganya Rp 20 ribu per botol. Penjualannya seputaran di sini. Kadang ngecer di warung-warung. Saat ini mulai macet dan sulit jual. Karena ada arak gula, itu sekarang lebih ngetren lebih laris. Selain itu, juga lebih murah katanya,” ujar Ayu.

Baca juga:  Jembatan Kaca Blangsinga Diduga Belum Kantongi Izin Operasional

Perajin lainnya Nengah Karti mengaku sudah menjadi perajin arak selama 13 tahun. Selama ini, dia mengaku masih bisa bertahan berproduksi dengan bahan baku didapat langsung dari petani setempat.

Dia membelinya, kemudian diolah secara tradisional. Proses destilasi arak tradisional dilakukan dari pukul 10 hingga pukul 19.00 WITA, baru mendapatkan 20 liter arak, dari 70 liter nira kelapa. Untuk pemasaran, dia juga mengandalkan pengepul dan penjualan ke warung-warung terdekat.

Baca juga:  Tiket Penyeberangan di Padangbai akan Naik

“Saya sudah 13 tahun jadi perajin arak. Sejauh ini masih punya pelanggan khusus. Kalau sudah jadi, ada yang ngambil langsung ke sini, sampai lima jiriken. Sejauh ini masih sanggup produksi 20 liter sehari. Kalau bahan bakunya masih beli, dari 7 ember dapat 20 liter, dengan kadar alkohol 20-25 persen,” tutur Karti.

Mereka berharap, setelah menjadi warisan budaya bali takbenda, hingga ditetapkannya 29 Januari sebagai Hari Arak Bali, pasarnya dapat semakin luas. Sehingga dapat berimbas langsung kepada para perajin arak, yang masih tetap berproduksi sampai sekarang. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN