Wawan Susetya. (BP/Istimewa)

Oleh Wawan Susetya

Berita mengenai calon pemimpin atau capres (calon presiden), entah Anies Baswedan, Gandjar Pranowo, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar, Eric Thohir, Airlangga Hartarto, dan sebagainya tersebar luas. Para calon pemimpin tersebut akan meramaikan momen pilpres  tahun 2024 mendatang. Berbicara mengenai konsep kepemimpinan, apakah kita yang hidup di alam demokrasi seperti dewasa ini tidak ingin melihat lebih jauh bagaimana kepemimpinan dalam pewayangan yang notabene sudah menjadi “kesadaran kultur” kita?

Meski pewayangan lebih identik dengan Jawa dan Bali, tetapi substansinya bersifat universal. Apakah model kepemimpinan yang bersumber dari pewayangan masih dianggap urgen dalam kepemimpinan era demokrasi?

Dalam pewayangan (pedhalangan) terdapat hikmah mengenai model kepemimpinan ksatria (satriya). Kepemimpinan para ksatria (satriya) tersebut, misalnya digambarkan dalam pewayangan, terutama, tokoh pewayangan titisan Bathara Whisnu; di antaranya Prabu Harjuna Sasrabahu Raja Maespati, Sri Rama Wijaya Raja Ayodya dan Sri Bathara Kresna Raja Dwarawati serta Raden Arjuna satriya di Madukara. Sebagai titisan Whisnu, mereka mengemban tugas menegakkan keadilan dan kebenaran serta memayu hayuning bawana (menyelamatkan dan memakmurkan bumi seisinya). Pendek kata, mereka sebagai tauladan harus berani bersikap tegas dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Baca juga:  Merekontruksi Efektivitas Pembelajaran

Begitulah, kepemimpinan para ksatria (satriya) memang memegang peran penting, karena para ksatria memiliki kewajiban melaksanakan ‘darmaning satriya’, sebagai berikut: Pertama, Ngayomi wasu pitri pandhita-resi ingkang ulah puja mesubrata (melindungi wasu pitri pandhita-resi yang sedang ulah puja mesubrata). Kedua, Rumeksa raharjaning praja bumi kelahiran (memelihara keselamatan atau kesejahteraan negara dan bumi kelahiran), Ketiga, Trisna bangsa welas asih mring kawula dasih (mencintai bangsa dan memberikan kasih sayang kepada rakyat jelas), Keempat, Setya ing janji nuhoni sabda ingkang wus kawedhar (menepati janji yang sudah diucapkan), Kelima, Tundhuk ing bebener adhedhasar adil (tunduk patuh terhadap kebenaran berdasarkan keadilan).

Demikianlah kandungan lima darmaning satriya (tugas para ksatria atau pemimpin) dalam pewayangan. Marilah sekarang kita melihat tujuan negara melalui pemerintah Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan negara, yakni; Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteran umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Baca juga:  Korut Rayakan 10 Tahun Kepemimpinan Kim Jong Un

Bukankah antara darmaning satriya dengan tujuan negara Indonesia melalui pemerintah hampir sama dan selaras? Maka, kiranya sangat berlebihan bila pemimpin kita tidak menggali lebih dalam mengenai kandungan nilai-nilai terutama mengenai kepemimpinan dalam pewayangan. Dalam pewayangan, Sri Prabu Bathara Kresna (Raja Dwarawati), selain sebagai raja yang ahli strategi dan politik, juga menempuh jenis lelaku ‘nyamodra’-‘nyegara’ (me-‘laut’ dan me-‘samudera’) dalam pergaulan. Sebab, tugas sebagai raja yang diembannya memang menuntut untuk melakukan perjuangan di dalam kenegaraan maupun perpolitikan sebagai manifestasi memayu hayuning bawana (rahmatan lil ‘alamin).

Dalam memimpin negaranya pun, Prabu Kresna—yang memiliki ‘Ilmu Hastha Brata’—juga mampu memimpin rakyatnya secara adil dan bijaksana. Dr. Seno Sastroamidjojo—dalam bukunya Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit (1964)—menjelaskan bahwa antara Ki Lurah Semar dengan Prabu Kresna, pada hakikatnya memiliki kedudukan yang sama dalam dunia pewayangan. Sebab, substansinya kedua tokoh wayang tersebut sama-sama ‘Dewa mangejawantah’ (penjelmaan, manifestasi, perwujudan Dewata) yang diturunkan atau ditugaskan di madyapada (dunia). Jika Prabu Kresna adalah titisan Bathara Whisnu, Semar merupakan titisan Bathara Ismaya (disebut pula dengan Smara). Dan, Sang Hyang Ismaya adalah putra Sang Hyang Tunggal. Sementara, tugas yang diemban pun kurang lebih juga sama dengan tugas Prabu Kresna; yakni memayu hayuning bumi.

Baca juga:  Lansia Belum Tentu Tidak Bahagia

Pijakan dasar filosofi kepemimpinan tersebut di atas, sesungguhnya tujuannya untuk menemukan nilai-nilai yang sejati (haq). Sebab, seorang pemimpin memang bertugas mengemban amanat rakyat agar mereka sejahtera hidupnya di dunia dan di akhirat.

Penulis, Sastrawan-Budayawan dan Penulis Buku, tinggal di Tulungagung-Jatim

BAGIKAN