Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Dalam masyarakat Indonesia yang memegang budaya patriarki, kedudukan perempuan sebagai subordinasi
laki-laki, artinya laki-laki memegang kuasa utama sementara perempuan berperan sebagai pelengkap laki-laki. Laki-laki juga dianggap lebih kuat dan kompeten dibandingkan perempuan, sehingga laki-laki dianggap menjadi penanggung jawab keluarga.

Karena dianggap penanggung jawab keluarga, anggota keluarga terutama para perempuan sering menggantungkan diri kepadanya. Kedudukan perempuan yang menjadi subordinat inilah yang menyebabkan banyak diskriminasi terjadi pada para perempuan, yang biasanya menempatkannya pada pihak yang kurang beruntung.

Dalam keluarga pun, perempuan lebih banyak berperan dalam melakukan pekerjaan domestik keluarga. Bila perempuan mampu berkarir, pekerjaan domestik itupun tetap melekat pada dirinya, sehingga kaum laki-laki biasanya tetap disebut sebagai tulang punggung keluarga.
Sebagai tulang punggung artinya laki-laki menjadi pondasi dan pencari nafkah keluarga dan menghidupi keluarga.

Itu sebabnya perempuan lebih sebagai support system, yang melengkapi laki-laki dalam menjalankan keluarga, meski dalam kehidupan modern tak jarang perempuan
sudah banyak berkarier di sektor formal, bahkan mampu berpenghasilan di atas laki-laki. Penempatan kedudukan dan peran perempuan pada masyarakat yang menganut patriarki ini sering menjadikannya korban KDRT.

Baca juga:  21 Persen Direksi BUMN Ditempati Perempuan

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak pada tahun 2021 melaporkan 79, 5 persen kasus KDRT menimpa para perempuan. Data ini membuktikan bahwa mayoritas perempuan rentan mengalami kasus kekerasan rumah tangga.

Laki-laki yang merasa sebagai penguasa utama dalam keluarga cenderung menempatkan dirinya sebagai penentu keputusan, sehingga perempuan harus selalu menurut padanya. Bila perempuan tidak melakukan seperti apa yang diharapkan, laki-laki sering melakukan kekerasan manakala ada persoalan serius di rumah tangga, apalagi
pada situasi yang menyudutkannya.

Seperti kasus yang lagi viral menimpa seorang artis penyanyi yang mengetahui suaminya selingkuh, dia
mendapatkan tindak kekerasan dari suaminya yang menyebabkan dia dirawat di RS. Kasus ketauan perselingkuhan ini sering menjadi alasan utama perempuan mengalami kekerasan.

Perempuan sering menahan diri untuk tidak melaporkan kasus yang menimpanya kepada pihak berwajib, karena tidak ingin aib keluarga diketahui publik. Hal ini dikarenakan perempuan malu dengan pilihannya sendiri yang menyebabkan dia menyesal atas kesalahannya sendiri.

Baca juga:  Baru Bebas, Pentolan Ormas Kembali Dilaporkan

Selain faktor tersebut, perempuan juga sering cepat memaafkan suami dengan alasan keberadaan anak. Dua alasan ini memang sangat kuat untuk menjadikan
perempuan rela bertahan untuk tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan ketika perempuan menghadapi kasus KDRT. Pertama perempuan harus mengenali betul siapa pasangannya sejak masa pacaran.

Biasanya sikap egois dan mau menang sendiri mesti menjadi salah satu alasan untuk menghindari pasangan seperti itu. Kedua, perempuan harus memiliki nilai tambah.

Memiliki karir dan penghasilan adalah salah satu yang harus menjadi pertimbangan utama sebelum memutuskan untuk hidup berumah tangga dengan laki-laki yang menjadi pilihannya. Kekuatan perempuan ini dapat menjadi salah satu cara jitu untuk membuat laki-laki hormat pada pasangannya, sehingga tidak berbuat semena-mena dan melakukan kekerasan.

Baca juga:  Peran Aktif Perempuan Penting Tingkatkan Budaya Literasi

Perselingkuhan yang dilakukan sudah mengindikasikan bahwa laki-laki sudah tidak mencintai perempuan pilihannya sepenuh hati. Kenapa demikian? Karena dia sudah berani menduakan cintanya. Itu berarti perempuan
sudah harus menghindari dan bahkan tidak memaafkan laki-laki yang melakukan ini.

Apalagi sudah sampai melakukan kekerasan fisik. Betapa
bodoh perempuan bila masih bertahan dengan kondisi dicelakai dan dilukai. Belum lagi dapat menanggung derita berupa penyebaran penyakit yang bisa menimpa perempuan dari suami atau pasangan yang selingkuh.

Intinya perempuan harus berani menentukan sikap yang terbaik untuk diri sendiri, meski terasa berat di awal. Memaafkan orang tentu sebuah kewajiban, terutama pada orang yang insaf, tetapi hidup serumah dengan orang yang setiap saat dapat membahayakan hidup perempuan mesti menjadi sebuah pertimbangan serius untuk dicegah dan dihindari.

Para perempuan ayo jangan hanya menggunakan hati, mari berpikir lebih rasional.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *