Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya 

Pada 5 Juni yang lalu dirayakan sebagai Hari Lingkungan Hidup sedunia. Tema secara universal adalah, Only One Earth: Living Sustainably in Harmony with Nature. Dalam pemilihan perjalanan wisata, tidak banyak orang yang memilih bepergian ke area taman nasional, cagar alam dan tempat lain yang menjadi pusat keanekaragaman hayati.

Dengan kata lain, minimnya jumlah pengunjung yang mengakses destinasi yang memiliki keanekaragaman hayati, memiliki relevansi dengan perubahan peradaban post Covid-19. Orang akan mendatangi tempat-tempat yang jarang didatangi orang, yang tidak berada di tengah kerumunan, lebih mencari kesehatan. Di sinilah hari lingkungan hidup memiliki relevansi dengan perubahan peradaban post Covid-19, yang dikenal dengan new normal.

Jamak diketahui, lingkungan hidup Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Masyarakat internasional mengenal alam Indonesia melalui kegiatan menyelam (diving). Banyak perairan di Indonesia yang dikenal keindahan alam bawah lautnya, seperti, Raja Ampat, Halmahera, Wakatobi, Bunaken, Togian, Sangalaki, Banda, Sangihe Talaud, dan banyak lagi. Beberapa di antaranya berstatus sebagai kawasan Taman Nasional, Taman Wisata Alam, atau Cagar Alam. Indonesia juga tercatat sebagai negara mega-diversity (kenakeragaman hayati paling tinggi) terbesar kedua setelah Brazil. Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia sangat kaya, di antaranya, populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan.

Baca juga:  Pansus DPRD Bali Bahas Rumah Singgah Lansia

Namun, kekayaan tersebut mengalami ancaman pencurian dan pengeboman serta pembiusan satwa bawah laut yang datang sewaktu-waktu. Tiga tahun lalu digemakan spirit konservasi milenial perlu menjadi perhatian bersama akan eksistensi dan masa depan satwa Nusantara, sebagai salah satu bagian dari kekayaan hayati kita. Penelitian yang dilakukan penulis selama 2019-2021 tentang model ekowisata di kalangan milenial, memiliki relevansi dengan konservasi alam, khususnya konservasi satwa endemik Nusantara. Dua contoh sukses konservasi alam yang dapat dijadikan contoh dalam artikel ini adalah, pertama, konservasi Jalak Bali / Curik di Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Puluhan tahun lalu, Curik mengalami bahaya kepunahan. Situasinya berbeda saat ini. keberadaan desa penyangga TNBB berhasil menopang dan membantu konservasi Curik, salah satunya Desa Blimbingsari, Kabupaten Jembrana. Warga yang tinggal berdekatan dengan TNBB beberapa kali menemukan dan menangkar Curik, dan kini populasinya menjadi bertambah berlipat. Inilah model konservasi yang berhasil, di satu sisi melibatkan masyarakat, di sisi lain memenuhi kesejahteraan satwa yang menjadi hak alami.

Kedua, konservasi Gajah di Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, Langkat. Hasil kerja keras konservasi yang melibatkan Taman Nasional dan masyarakat setempat, berhasil mengubah mindset dan sikap warga untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Tidak tampak lagi hutan yang kering di Tangkahan. Pun pula, tidak ditemukan lagi cerita konflik satwa dengan penduduk. Konservasi gajah berhasil menangkal bahaya konflik gajah liar dengan penduduk.

Baca juga:  Panen Kapas Bersama Kelompok Tani Karya Mandiri, Bupati Gede Dana Optimis Kesejahteraan Petani Meningkat

Business model dalam pengembangan ekowisata di Tangkahan menempatkan kesejahteraan satwa sebagai pusat kegiatan konservasi berbalut kegiatan wisata. Esensi keberlanjutan satwa khas menjadi alasan utama (value preposition) kegiatan ekowisata. Dengan arti lain, ekowisata menolong aktivitas konservasi. Pemasukan dari wisata untuk memenuhi kebutuhan operasional satwa, mulai dari makanan, perawatan dokter dan operasional lainnya.

Prioritas utama dari konservasi adalah menjaga situasi alami dari satwa. Di sinilah tantangan dari pengelola dan wisatawan. Sikap yang ‘memanjakan’ satwa dengan tujuan ‘menyenangkan’ wisatawan. Semisal, untuk mendatangkan satwa endemik di Taman Nasional, semisal Orang Utan, diberi pancingan pisang. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan, karena situasi natural Orang Utan mencari makan sendiri di alam.

Kellie Joan Eccleston (2009) dalam penelitiannya tentang Animal Welfare di Jawa Timur menggugah kesadaran publik akan eksploitasi binatang. Wacana kesejahteraan binatang sebenarnya semakin marak di negara-negara dunia ini. Setiap tahun binatang mengalami penderitaan karena eksploitasi dan penganiayaan. Di Indonesia dengan satwanya yang sangat khas (sekitar 17% satwa di seluruh dunia terdapat di Indonesia) ada kekejaman dan eksploitasi terhadap satwa karena perdagangan terlarang. Selain itu, binatang menderita karena mereka tidak diperlakukan dengan baik atau tidak dihiraukan.

Baca juga:  Budaya dan Politik Ekonomi

Terkait hal tersebut, perlulah diingat kembali lima kebebasan binatang (The Five Freedoms) untuk meminimalisir praktek kekerasan atas satwa. Pertama, Freedom from Hunger and Thirst – Kebebasan dari Kelaparan dan Kehausan: memberikan makanan dan minuman yang cukup untuk menjamin binatang sehat. Kedua, Freedom from Discomfort – Kebebasan dari Ketidaksenangan: memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi binatang dan yang menyenangkan. Ketiga, Freedom from Pain, Injury and Disease – Kebebasan dari Kesakitan, Luka-luka dan Penyakit: mencegah kemungkinan jatuh sakit atau menderita luka-luka sebanyak mungkin, dan jika satwa masih jatuh sakit atau menderita luka-luka menjamin bahwa hewan itu dapat diperiksa oleh dokter hewan dan diobati. Keempat, Freedom to Behave Normally – Kebebasan untuk Bertindak dengan Biasa, sebagai seekor binatang: memberikan lingkungan yang luas, yang memungkinkan binatang melakukan gerakan alami dan bergaul dengan binatang lain yang berjenis sama. Kelima, Freedom from Fear and Distress – Kebebasan dari Ketakutan dan Stres: menjamin perlakuan satwa yang baik supaya menghindari satwa dari ancaman kebosanan, stres, ketakutan dan kesusahan.

Perilaku etis pada setiap unsur di alam semesta harus menjadi bagian dan gaya hidup keseharian pasca covid-19. Mengurangi penggunaan plastik merupakan bentuk praktis yang populer juga menjadi bagian dari new normal.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Universitas Ciputra, Meneliti Ekowisata Milenial

BAGIKAN