I Gusti Nurah Bagus Suryawan. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ngurah Bagus Suryawan

Masa lalu telah mati, masa kini meninggalkan dan masa yang akan datang mendekat. Walaupun demikian masa lalu tidak serta merta terlupakan, dan itulah sebabnya pikiran tiba-tiba diingatkan pelajaran biologi SMA di tahun tujuh puluhan. Seorang ahli geologi Inggris, Charles Robert Darwin konon menghebohkan masyarakat dunia pertama kali pada tahun 1859 dengan teori evolusinya yang berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection.

Ada kesan kuat dari teori evolusi Darwin yang mengilustrasikan gambar seekor kera yang tumbuh melewati seleksi alam akhirnya menjadi manusia. Kontan saja berbagai rekaan dan guyonan muncul bahkan kawitan, asal mula manusia pun dianggap  monyet.

Penulis bahkan sering menahan senyum sewaktu dinas di Surabaya, dan setiap kali teman menyebut “ketek kon”, monyet kamu, sepertinya diingatkan teori evolusi Darwin. Umpatan bernada canda itu hanya sekedar menyadarkan pada sahabat karibnya yang ganteng, tapi sayang perilakunya masih seperti binatang, gatal dan rakus. Apa mungkin seekor kera sudah berevolusi fisiknya menjadi manusia tetapi gen karakternya belum berevolusi sehingga masih menunjukkan kelakuan monyet?

Baca juga:  Perlukah Pariwisata Halal di Bali?

Yang namanya evolusi tentu harus disadari bahwa perubahan itu  terjadi perlahan-lahan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tidak masalah berapa lama harus berevolusi dan ini adalah tahapan menuju kesadaran. Seperti halnya pertarungan sengit antara Bima dengan Gatotkaca yang sama-sama tidak mengetahui hubungan mereka selaku ayah dan anak karena lama berpisah, dan akhirnya memunculkan kesadaran baru.

Ambisi Gatotkaca untuk membunuh Bima begitu besar untuk dipersembahkan daging dan darahnya dalam pemujaan. Sudah lama Gatotkaca dan ibunya, Hidimbi tidak melakukan pemujaan  sebagaimana tradisi yang diwariskan leluhurnya kaum raksasa yang harus  mempersembahkan daging dan darah. Ketika Sri Krishna muncul menjelaskan hubungan mereka antara ayah dan anak, pertarungan berhenti dan Hidimbi istri Bima mendengar penjelasan itu.

Kemudian Sri Krishna menyarankan agar tidak melanjutkan tradisi leluhurnya yang keliru itu, apalagi mempersembahkan daging dan darah manusia. Hidimbi dan Gatotkaca menerima saran itu, begitulah evolusi dan kesadaran yang kemunculannya menunggu waktu yang tepat. Sebenarnya semua memiliki tahapan waktu di bumi ini, dan tidak seharusnya dicemaskan berlebihan. Apakah ada orang yang mencemaskan kalau ia tidak akan dapat jatah kematian seperti halnya Aswatama putra Drona yang terkutuk? Kecemasan seperti itu tidak perlu terjadi karena semuanya akan kebagian mati, dan yang lahir pasti akan mati pada akhirnya.

Baca juga:  Tantangan Privatisasi Pantai Bali

Banyak hal yang belum kita sadari dalam hidup ini, dan apa sebenarnya hidup ini? Ketika orang belum menyadari proses penyebaran Covid -19 ada  banyak kementar yang menolak mengenakan masker, jaga jarak dan cuci tangan, dan dengan berjalannya waktu ada evolusi yang menumbuhkan kesadaran dan kemudian ada penerimaan untuk mematuhinya. Setelah dibuka akses pariwisata menuju Bali ternyata belum ada tamu mancanegara yang berkunjung, ya begitulah runutan evolusinya menunggu waktu yang tepat.

Baca juga:  Mengoptimalkan Pergub Penyerapan Produk Lokal

Hidup kadang terasa misteri yang harus disingkap. Kalau kita cermati hidup sendiri adalah permainan pikiran. Apapun yang ada itu adalah ungkapan pikiran. Bila pikiran menganggap hidup sebagai duka cita tentu harus ditanggulangi. Bila hidup dianggap tragedi sebaiknya dituntaskan. Bila hidup dianggap sebuah tugas yang terbaik adalah melaksanakan.

Bila hidup dianggap sebagai kesempatan, lebih baik ambilah. Bila hidup dianggap jiwa yang utama adalah menyadarinya. Bila hidup dianggap perjuangan butuh seni untuk bertarung. Bila hidup dianggap sebuah keindahan, ucapkan astungkara dalam  hati. Begitulah evolusi dan anggapan hidup, dan sebenarnya evolusi bukanlah sesuatu yang penting, yang penting adalah kesadaran pada akhirnya. Bila kesadaran itu harus dicapai puncaknya (moksha), lakukan matbhaktaha, cintai Tuhan sepenuh hati, matkarmakrit bekerjalah untuk Tuhan, dan matparama lakukan kegiatan yang layak hanya demi Tuhan.

Penulis, Pensiunan Telkom

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *