Ilustrasi. (BP/Dokumen Antara)

LONDON, BALIPOST.com – Menurut survei prevalensi virus corona, Subvarian Delta yang berkembang di Inggris kecil kemungkinannya menimbulkan gejala infeksi COVID-19. Kelihatannya lebih menular. Studi REACT-1 oleh Imperial College London yang terbit pada Kamis (18/11), juga mengungkapkan bahwa secara keseluruhan kasus telah turun dari puncaknya pada Oktober.

Studi menemukan bahwa subvarian yang dikenal sebagai AY.4.2 itu muncul pada hampir 12 persen dari sampel yang diurutkan. Namun hanya sepertiga saja yang memiliki gejala COVID “klasik”.

Baca juga:  Setelah 9 Hari Laporkan Korban Jiwa COVID-19, Hari Ini Bali Nihil Tambahan

Para peneliti menyebutkan bahwa orang tanpa gejala (OTG) mungkin kurang mengisolasi diri, tetapi orang dengan gejala lebih sedikit mungkin juga lebih gampang menyebarkan virus lewat batuk, dan mungkin tidak mengalami sakit parah. “Kelihatannya lebih mudah menular,” kata ahli epidemiologi Paul Elliott kepada awak media, yang dikutip dari Kantor Berita Antara.

Sedangkan subvarian AY4 yang kini mendominasi ditemukan pada hampir separuh sampel. AY.4.2 diperkirakan sedikit lebih menular, namun tidak terbukti menyebabkan penyakit menjadi lebih parah.

Baca juga:  Bergandengan Tangan Kendalikan COVID-19

Imperial sebelumnya merilis hasil studi sementara yang menunjukkan prevalensi COVID-19 mencapai puncaknya pada Oktober dan infeksi terbanyak terjadi pada anak-anak.

Hasil menyeluruh dari putaran terakhir studi pada 19 Oktober-5 November itu mengonfirmasi bahwa tingkat infeksi turun dari puncaknya, sejalan dengan liburan semester sekolah pada akhir Oktober.

Menurut Elliot, belum pasti apakah penurunan infeksi terus berlanjut. Beberapa pekan ke depan pihaknya akan menetapkan apakah kembali ke sekolah menyebabkan kenaikan kasus lagi. Studi REACT-1 juga menemukan bahwa dosis booster mengurangi dua pertiga risiko infeksi pada orang dewasa dibanding dengan penerima dosis kedua. (kmb/balipost)

Baca juga:  Bandara Ngurah Rai Terapkan ''Social Distancing''
BAGIKAN