Seniman akan menampilkan Drama Tari Gambuh. (BP/Istimewa)

GIANYAR, BALIPOST.com – Drama Tari Gambuh merupakan salah satu praktek kesenian di Bali. Kesenian ini kini diteliti dikarenakan drama tari klasik ini menjadi sumber atau “ibu” dari banyak tarian, musik, dan teater di Bali.

Menurut Andar Manik, Ketua Pelaksana Program Jiwa Gambuh di Desa Batuan, Jumat (8/10), Yayasan Bali Purnati bersama Pemerintah Desa Batuan bekerjasama untuk melakukan Program Gerakan Kebudayaan yang berkelanjutan yaitu program kebudayaan “Jiwa Gambuh.” Program ini sudah berlangsung di Desa Batuan, Bali dengan beberapa rangkaian penelitian dan pendokumentasian untuk menemukenali potensi seni budaya di desa tersebut.

“Gambuh yang kita ketahui saat ini merupakan asal muasal atau ibu dari banyaknya tari, musik dan teater di Bali. Diketahui bahwa Gambuh memiliki perjalanan panjang yang berawal dari Majapahit hingga masuk ke Pulau Bali,” katanya dalam rilis yang diterima.

Gambuh, lanjutnya, berisi sejarah yang tertulis dalam lontar, kidung, ritual, kepercayaan, tari, musik, teater, dan lainnya yang sudah jelas begitu besar. Ini adalah sebuah kekayaan, sebuah warisan untuk generasi selanjutnya.

Baca juga:  Tokoh Kesehatan Masyarakat, Prof. Wirawan Berpulang

Gambuh sebuah drama tari klasik yang sudah memiliki format yang jelas, lengkap, dan pasti. Format tersebutlah yang tidak semua jenis tarian miliki.

Gambuh adalah bagian dari peradaban Kerajaan Bali terdahulu dan masa kini di Bali. Oleh sebab itu, Gambuh sangat penting untuk diangkat, dikembangkan dan dilestarikan. Karena Gambuh adalah awal dari sebagian besar tari, musik dan teater di Bali.

Kegiatan awal temu kenali telah berjalan sejak April 2021. Kegiatan riset terus bergulir hingga September 2021.

Selama kurun waktu 5 bulan telah melakukan pendokumentasian dari 5 Sekaa Gambuh yang ada di Desa Batuan. Yakni, Sekaa Sunari Wakya, Sekaa Mayasari, Sekaa Satriya Lelana, Sekaa Tri Pusaka Cakti, dan Sekaa Kakul Mas.

Baca juga:  Kecewa PPDB, 21 SMP Swasta “Boikot” Undangan Disdik Meriahkan Kemerdekaan

Kelima Sekaa tersebut mementaskan Gambuh di beberapa titik lokasi di Yayasan Bali Purnati dan satu sekaa mementaskan di Pura Puseh Batuan saat malam Purnama. Setiap pementasan didokumentasikan, dari detail kostum, alat musik dan juga proses berlatih di masing-masing sekaa itu.

“Pementasan berlangsung dari 17 hingga 19 September 2021 dan puncaknya di 21 September 2021 pada saat purnama kapat di Pura Puseh Batuan. Semua kegiatan dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Dipastikan seluruh pihak yang terlibat telah melakukan vaksin, menggunakan masker, selalu menjaga jarak dan mencuci tangan.”

Rangkaian kegiatan dari Jiwa Gambuh akan berlanjut dengan pameran lukisan gaya Batuan bertemakan “Jiwa Gambuh” yang diikuti oleh 13 pelukis dewasa dan 8 pelukis anak-anak Batuan. Mereka diberikan kebebasan untuk berimajinasi tentang Gambuh yang kemudian dituangkan di atas media lukis masing-masing.

Baca juga:  Bukan 1 April, Ini Jadwal Dimulainya Pelayanan GeNose di Bandara Ngurah Rai

Pameran lukisan ini akan berlangsung dari 3-10 Oktober 2021 di Yayasan Bali Purnati. Di sela-sela pameran, pada 3 dan 10 Oktober akan diadakan workshop melukis gaya Batuan oleh anak-anak yang tergabung dalam sanggar Lukis anak Desa Batuan.

Selain itu dilakukan juga forum diskusi bertemakan “Jiwa Gambuh: kemarin, hari ini dan esok” sebagai penutup kegiatan Jiwa Gambuh di 2021. Pembicara yang hadir rencananya adalah I Wayan Budiarsa yang akan membahas “Sastra Panji Citra Kara Vibrasi Gambuh Batuan” dan Desak Made Suarti Laksmi yang akan memaparkan “Pakem Musik Gambuh: Pengaruh dan Pengembangannya.”

Forum diskusi ini akan dipandu oleh I Wayan Diana Putra dan tiga pemantik diskusi, Jean Couteau, Andar Manik dan I Wayan Westra. Forum diskusi ini akan dilaksanakan secara luring dan daring pada 9 Oktober di Yayasan Bali Purnati. (kmb/balipost)

BAGIKAN