Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Minggu lalu performa pariwisata Indonesia menjadi sorotan dunia. Kali ini karena prestasinya sebagai negara paling santai di dunia, menurut penilaian agen perjalanan wisata Inggris, lastminute.com. Predikat sebagai negara paling santai di dunia tidak berarti negara yang malas, tetapi negara yang paling menyenangkan untuk liburan dan relaksasi.

Ada di peringkat kedua dan seterusnya setelah Indonesia adalah Australia, Islandia, New Zealand. Menurut laporan lasminute.com, Indonesia setidaknya mempunyai lebih dari 186 ruang hijau, rata-rata 30 hari libur per tahun, 66 spa di setiap daerah, dan retret kesehatan yang mudah dijumpai.

Selain catatan di atas, bukti bahwa Indonesia sebagai negara yang siap menerima tamu dengan baik dapat dilihat pada situasi krisis. Setidaknya hal itu dapat terlihat di masa awal pandemi. Wabah virus Corona menyebabkan wisatawan asal Tiongkok di negeri ini, khususnya yang berada di Bali, terpaksa memperpanjang waktu tinggal mereka. PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Bali menyerukan agar industri hotel khususnya, tidak mengambil keuntungan dari keadaan darurat ini. Komitmen dibuktikan dengan memberikan harga terendah bagi tamu yang terpaksa memperpanjang waktu tinggal mereka.

Baca juga:  AN dan Pembelajaran Penalaran

Hal itu menunjukkan tak hanya industri perhotelan, semua industri yang terkait dengan pariwisata juga bersama-sama menanggung bencana kemanusiaan global ini. Komitmen ini diperintahkan Presiden Jokowi untuk mengatasi dampak ekonomi virus Corona dengan memberi kemudahan-kemudahan, insentif, dan bahkan tarif yang lebih murah. Ini sebagian bukti betapa Bali menjadi ‘surga’, tempat yang nyaman untuk berlindung bagi semua orang. Lebih-lebih dalam keadaan darurat, Bali menjamin keamanan dan keselamatan jiwa-jiwa. Di masa silam, jejak Bali yang menyelamatkan bagi umat manusia masih terekam kuat.

Dikisahkan, Rsi Markandya, seeorang yang suci yang hidup pada masa Majapahit, menemukan obat alami yang menyembuhkan berbagai penyakit di sebuah sungai di desa yang kini bernama Ubud. Di Ubud, terasa kuat sikap tuan rumah yang baik (be a good host) bagi setiap pendatang, memperlakukan tamu secara baik (treat your guest properly) dan membangun sebuah ‘rumah’ yang nyaman bagi turis (building a home sweet home).
Hermawan Kartajaya (2009) menyatakan, karakteristik manajemen dan keseluruhan Ubud merupakan kisah sukses penerapan prinsip marketing 3.0 yang dewasa ini menjadi metode yang pas di era human-centric ini. Era customer-centric dengan pendekatan marketing 1.0 dan era customer-centric dengan pola marketing 2.0 telah berlalu.

Baca juga:  Kebangkitan Nasional dan Peradaban Baru

Karena itu, tak heran Ubud kembali menorehkan prestasi yang membanggakan pariwisata Indonesia. Destinasi berbasis pedesaan yang terletak di Kabupaten Gianyar, Bali, itu, berhasil masuk sebagai kota terbaik ketiga di Asia oleh majalah asing Travel + Leisure. Di peringkat pertama Hon An (Vietnam), dan di peringkat kedua Chiang Mai (Thailand).

Sedangkan di peringkat dunia, Ubud berada di urutan 15 teratas. Akar dari kualitas destinasi Ubud terletak pada kemampuan destinasi tersebut memberikan pengalaman yang menyenangkan dan mendalam bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Dalam konsep turisme, Ubud menawarkan total experience, yang mampu memenuhi kebutuhan jiwa yang mendalam bagi setiap wisatawan, yakni kesegaran jiwa, kebahagiaan.

Karakteristik turisme sebagai bagian penting dari kehidupan seharusnya difungsikan sebagai salah satu tools untuk mengobati jiwa umat manusia yang kini ‘tertekan’ dalam bahaya ancaman virus mematikan. Potensi munculnya stres yang kian sporadis, mulai dari rumah, di jalan, tempat kerja / sekolah, hingga lingkungan sekitar, berpotensi merapuhkan ketahanan jiwa.

Stres bahkan depresi karena tekanan dan ketidakpastian persebaran virus corona, seakan mendapat perlindungan bagi turis ataupun warga asing yang kini sedang berada di Indonesia. Kepariwisataan semakin menjadi salah satu kebutuhan esensial manusia di samping kebutuhan pokok yang lainnya, kebutuhan berwisata menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka live balancing dari rutinitas keseharian manusia dan tentu saja untuk meningkatkan ‘antibodi’, berupa ketahanan jiwa dari pemicu stres dan depresi.

Baca juga:  Budaya Membaca dan Perpustakaan

Hal penting menyertai predikat Indonesia sebagai negara paling santai di dunia yang berarti sebagai tujuan berwisata dan relaksasi terbaik di dunia adalah mempertahankan dan memastikan keberlanjutan semua unsur dan sumber daya pariwisata. Kini, setelah pandemi datang, pariwisata semakin bertransformasi menjadi sustainability, serenity dan spirituality.

Dalam konteks sustainable tourism, menurut Evita, Sirtha dan Sunartha (2012: 3), dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan harus menghindari pariwisata massal. Secara ekonomi, meningkatnya jumlah turis memiliki dampak positif terhadap perekonomian suatu negara. Namun sebaliknya berpengaruh negatif pada lingkungan. Salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif dari pariwisata massal, yaitu pengembangan alternatif yang lebih peduli dengan kelestarian lingkungan dan juga merupakan pengembangan pariwisata berkelanjutan.

Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. jadi tdk ada yg perlu dikawatirkan tentang pariwisata Indonesia dan Bali khususnya… makanya gak usah grasa grusu, kata orang jawa, unt mendengungkan buka pariwisata sementara wabah masih berjangkit keras..

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *