Ni Kadek Dian Pitriyani. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Kadek Dian Pitriyani

Perekonomian Indonesia dan Bali pada tahun 2020 secara umum mengalami kontraksi masing-masing sebesar 2,07 dan 9,31 persen. Bagaimana dengan triwulan pertama tahun ini? Setelah satu tahun Covid-19 menghantui, ternyata masih belum terjadi peningkatan pada perekonomian kita.

Berdasarkan data PDB (Produk Domestik Bruto) dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada triwulan 1 tahun 2021, perekonomian masih mengalami kontraksi (q to q) sebesar 0,96 persen pada perekonomian Indonesia dan 5,24 persen pada perekonomian Bali.

Kontradiksi dengan hal tersebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perkembangan nilai ekspor Indonesia maupun Bali secara khusus menunjukkan tren positif. Sepanjang tahun 2020 hingga Maret 2021 nilai ekspor migas dan non-migas Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Awal tahun 2020 nilai ekspor Indonesia sebesar 13,63 miliar US$, relatif terus meningkat hingga Maret 2021 mencapai 18,35 miliar US$.

Ternyata pandemi tidak turut serta mematikan kegiatan ekspor kita. Dari keseluruhan ekspor Indonesia pada Maret 2021, sebanyak 94,58 persen ekspor Indonesia merupakan ekspor barang-barang non-migas. Tiga komoditas non-migas yang paling banyak diekspor pada Maret 2021 antara lain lemak dan minyak hewan/nabati; bahan bakar mineral; dan besi dan baja.

Baca juga:  Mengawal Akuntabilitas Keuangan Demokrasi 2024

Bagaimana dengan Bali? Ekspor Provinsi Bali hingga bulan Maret 2021 hanya menyumbang 0,25 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Share ekspor Provinsi Bali tentu dapat ditingkatkan agar perekonomian Bali dapat bergairah kembali layaknya sebelum pandemi mewabah.

Seperti halnya nilai ekspor Indonesia yang relatif terus mengalami peningkatan. Nilai ekspor Provinsi Bali pada Maret 2021 (US$ 47,60 juta) naik sebesar 19,76 persen bila dibandingkan bulan Februari 2021 (US4 39,75 juta). Negara primadona tujuan ekspor barang Provinsi Bali antara lain Amerika Serikat (33,79 persen), Australia (9,67 persen), dan Tiongkok (7,74 persen).

Sebagian besar komoditas yang diekspor merupakan produk-produk hasil industri pengolahan, sisanya merupakan produk-produk pertanian dan sebagian kecilnya merupakan produk-produk pertambangan. Memang, akan lebih menguntungkan jika kita dapat mengeskspor produk olahan jadi karena nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan produk mentah maupun setengah jadi.

Balai tampaknya perlu melakukan diversifikasi pada komoditas-komoditas ekspor. Bali harus berorientasi pada upaya mengembangkan produk ekspor yang multisektor.

Adalah sebuah fakta bahwa pariwisata Bali mengalami penurunan yang sangat drastis. Kini bahkan kita sangat jarang melihat wisatawan di hampir seluruh objek wisata kita. Meskipun demikian, ditengah kondisi ini Bali masih menjadi destinasi wisata terbaik dunia menurut penilaian Trip Advisor pada tahun 2020.

Baca juga:  Cerdas dan Bijak Mengelola Informasi

Tentu banyak yang merindukan bersantai kembali di Bali, berjalan-jalan di Kuta atau Ubud, berselancar di pantai selatan Bali, dan tentu banyak juga yang rindu melihat barang-barang kerajinan dan berwisata kuliner di Bali. Mengapa tidak kita obati kerinduan mereka akan Bali dengan menyuguhkan barang-barang industri kerajinan dan memanjakan lidah mereka dengan Rasa Bali “Balinese taste” (diplomasi dan ekspansi kuliner Bali) di negara mereka?

Beberapa bulan lalu sempat terdengar bahwa tenun endek kita digunakan dalam rancangan designer high-end brand di luar negeri. Hal ini tentu sangat membanggakan kita sebagai orang Bali. Ini merupakan jalan untuk memperkenalkan produk-produk kerajinan kita lainnya seperti songket, perhiasan emas dan perak, lukisan, patung, dan banyak lagi yang turut antri untuk dipamerkan dan dipasarkan ke luar negeri karena memang pangsa pasarnya sebagian besar adalah wisatawan. Bali pun per;lu melakukan pemetaan dan diversifikasi produk ekspor. Langkah ini untuk memastikan produk UMKM terserap pasar.

Baca juga:  Perhatian Dunia Fokus ke Tiongkok dan Amerika Serikat

Dari sisi kuliner, kita tentu pernah mengkonsumsi saos Bolognese yang sering dipakai pada masakan pasta. Dengan ide saos seperti ini, bagaimana jika kita mengembangkan produk Balinese taste misalnya dengan pengembangan industri yang lebih maju dalam pembuatan dan pengemasan bumbu khas bali sehingga awet layaknya saos Bolognese.

Selain itu, betutu dan urutan dapat diproduksi dengan baik, dikemas, diawetkan sehingga dapat dipasarkan ke luar negeri seperti halnya sarden dan sosis. Itu merupakan salah satu opsi agar industri makanan kita punya pangsa pasar diluar negeri. Selain itu, kita dapat menjalin kerja sama dengan penyedia makan minum (restoran dan rumah makan) yang dijalankan oleh Diaspora Indonesia di luar negeri.

Industri produk hasil pertanian berstandar eskpor juga perlu terus dikembangkan. Hasil pertanian petani Bali seperti kakao, kopi arabica, dan kopi robusta yang rata-rata diproduksi lebih dari 4000 ton per tahunnya diharapkan dapat diproses di Bali dan dipasarkan ke luar negeri.

Penulis Statistisi Muda pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *