Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H., M.Kn

Konferensi Stockholm yang dilaksanakan oleh PBB 5-16 Juni 1972, telah berhasil merumuskan kebijakan lingkungan hidup global. Dua tahun kemudian yaitu 1974, setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia. Namun bagaimana perkembangan kebijakan lingkungan saat ini, khususnya di Indonesia.

Berikut akan ditinjau beberapa bagian yang menonjol, untuk mengingatkan penentu kebijakan agar menyelamatkan lingkungan, sesuai harapan PBB. Bahwa kalau dilihat kenyataan sering terjadi bencana alam banjir, tanah longsor, asap, serta pencemaran sungai. Dan hal lain yang berhubungan dengan disiplin terhadap lingkungan, jumlah penduduk dan sebagainya. Maka, dapat diketahui ada kebijakan yang tidak sesuai dengan keadaan saat ini, sehingga perlu ditinjau kembali.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Puncak, sekitar Gunung Bromo dan di Kalimantan Selatan, yang sebelumnya tidak pernah terjadi, patut dicari penyebabnya. Dalam hal ini sementara dapat diduga karena sistem lingkungan telah rusak.

Baca juga:  Media, Anak Muda dan G20

Banyak hutan yang telah ditebang. Ada kemungkinan yang dulu zona hijau, tidak boleh membangun atau ada larangan sebagai wilayah permukiman, sekarang telah terbuka. Contoh di Bali, dulu banyak zona hijau dan tidak boleh membangun, saat ini larangan itu sudah tidak ada.

Demikian juga banjir di Jakarta, yang merupakan bencana tahunan. Penyebab yang utama adalah diperkenankannya bangunan di daerah aliran sungai. Pada hal kita tahu ada Per.Men PUPR Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Rupanya Permen ini tidak pernah dijalankan.

Demikian juga masalah pencemaran asap di Sumatera dan Kalimantan. Kalau dilihat pasal 169 (2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengusaha hanya diperkenankan membakar hutan maksimum 2 Ha. Kenyataan yang terjadi adalah, hutan yang dibakar lebih dari 2 hektare.

Baca juga:  Tumpuan Baru Pengentasan Kemiskinan

Kebijakan ini perlu ditinjau ulang, dengan cara sejauh mana hutan yang boleh dibuka dan apakah masih dibenarkan membuka hutan dengan cara membakar. Perlu dipikirkan merevisi undang-undang tersebut.

PBB juga menghendaki pengendalian lingkungan dengan melibatkan pendidikan dan pengendalian penduduk. Dalam hal ini perlu diingatkan kembali bahwa mata pelajaran tentang lingkungan hidup perlu diajarkan kepada siswa sejak SD sampai perguruan tinggi, agar tumbuh kesadaran lingkungan pada generasi muda.

Kenyataan yang ada sekarang banyak anak-anak kecil maupun anak muda seenaknya membuang sampah plastik ke selokan atau sungai, tanpa merasa berdosa. Demikian juga di Bali, sampah upacara mecaru, dibuang atau dilarung ke sungai. Pada hal menurut keterangan sulinggih, sampah caru itu bisa ditanam di tanah.

Baca juga:  Ada Apa dengan Pertanian di Bali?

Khusus di Bali, ada penduduk yang membuat kandang ternak atau home industry yang membuang limbahnya ke sungai. Atau rumah-rumah di perkotaan yang rata-rata luasnya hanya 1 are, maka sangat sulit mengolah sampah secara swadaya. Dan sulit mengelola aliran air hujan secara mandiri.

Pemerintah daerah dalam hal ini hendaknya membuat aturan yang mewajibkan setiap membangun dilengkapi denga IMB, serta ditentukan ada tanah kosong di pekarang minimal 10 % untuk mengolah sampah organik dan membuat penyerapan air hujan secara biopori. Semua itu perlu pengaturan oleh pemerintah daerah.Masalah pengendalian penduduk. Barangkali kebijakan KB dan transmigrasi oleh pemerintah perlu direkontruksi.

Penulis, pensiunan jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *