Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Ngurah Weda Sahadewa

Kekerasan kesejahteraan dapat disimbolkan dengan kemampuan yang tidak memiliki suatu nilai. Inilah sebagai bentuk kekerasan yang terselubung sekalipun dinyatakan secara terbuka bahkan dengan secara eksplisit diungkapkan sebagai representasi dari kurang bernilainya suatu kemampuan untuk menghasilkan sebuah peningkatan kesejahteraan.

Kekerasan tidak melulu diartikan sebagai bentuk terbuka ataupun konflik yang bersifat horisontal namun dapat dijadikan sebagai pemaknaan atas ketidaksolidan dalam memberikan suatu nilai. Adapun nilai yang dimaksud bukan semata-mata atas kemampuan kerja yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang ataupun bukan semata-mata penghargaan atas jam kerja yang dikeluarkan oleh seseorang untuk menghasilkan suatu barang ataupun produk tertentu saja melainkan bagaimana suatu bentuk nilai yang dapat menjamin kemampuan seseorang ataupun sekelompok orang dapat terjaga dengan kualitas yang mampu memberikan nilai tambah bagi kesejahteraan itu sendiri dan terutama dampak yang diberikan bagi kemajuan hidup manusia.

Pada dasarnya tidak dapat dinilai keseluruhan dari segenap kemampuan manusia itu secara kuantitatif melainkan tetap ada suatu kemampuan untuk meningkatkan penghargaan atas kemampuan tersebut agar kemampuan tersebut dapat dipelihara ataupun seterusnya ditingkatkan secara kualitatif agar memberikan dampak kuantitatif dari sudut pandang kesejahteraaan ekonomi maupun bahkan dari sudut pandang kesejahteraan sosial bahkan kemungkinan dari sisi budaya maupun religi. Kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai bentuk-bentuk sinyal penting dalam melihat ataupun memandang manusia secara keseluruhan sehingga manusia memiliki kelengkapan yang patut untuk dihargai sedemikian rupa sehingga dapat saling memberikan perhatian dengan saling menunjang satu sama lain sehingga gotong royong bukan semata-mata dimensi eksternal melainkan dari dalam diri manusia sendiri sudah tercipta untuk bergotong-royong atas kesejahteraannya sendiri termasuk pula dalam hal kesehatan.

Baca juga:  Galungan, Waspadai Tren “Negakin” Dharma

Kenyataan tersebut memang membutuhkan suatu kemauan politik yang konstruktif dalam menyikapi kemajuan yang perlu dan penting untuk dicapai dalam hidup manusia sehingga terjadi suatu bentuk penghargaan yang semakin meniningkat atas segala kerja dan pengorbanan yang dilakukannya.

Jika ke depan hal di atas dapat direncanakan dengan cermat dan tepat maka akan tercipta suatu pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang mampu memberikan timbal balik atas bangun kesejahteraan sosial yang semakin merata karena bentuk penghargaan ini memberikan kesempatan bagi manusia untuk berefleksi secara kritis dalam bersama-sama meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat dan bernegara terutama dalam arti riil yaitu kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraannya secara lebih berkemandirian pula. Inilah sebuah konsep gotong royong yang keluar dari dalam (internal) diri manusia yang sekiranya dapat memberikan suatu bentuk inspirasi baru terhadap kegotongroyongan secara fisik dan eksternal.

Baca juga:  Benarkah Hindu akan Bangkit?

Oleh karena itu perlu dan penting dikedepankan bagaimana konsep kegotongroyongan internal dalam diri pribadi manusia itu diarahkan untuk membentuk suatu bibit keunggulan dalam dirinya sendiri yang dijadikan sarana dan batu pijakan pula untuk senantiasa menginspirasikan kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara secara lebih baru dalam bergotong royong. Seterusnya bahwa ketika kesejahteraan ini dijadikan sebagai sebuah gerakan nyata dari dalam dirinya sendiri dapat memberikan suatu bentuk kesejahteraan baru yang menginspirasi untuk tetap meningkatkan kualitas penghargaan bagi orang lain pula sehingga terbentuk suatu rantai kegotongroyongan yang mampu menjalin keterhubungan yang lebih intensif namun berkualitas sekalipun atau bahkan justru dalam konteks dan konstelasi di era kemajuan teknologi digital. Karena sekalipun tidak berjumpa secara fisik melainkan dapat tetap memberikan inspirasi untuk saling memberikan kesejahteraan bagi diri dan orang lain.

Baca juga:  Ekonomi Pasca Pemilu

Ke depan lagi perlu dan penting untuk menciptakan inovasi kegotongroyongan yang inklusif dalam memberikan budaya gotong royong keekonomian, politik maupun bahkan kesehatan yang optimal terhadap pembentukan kebudayaan baru. Inilah yang saya sebut sebagai kebudayaan inklusif di era pandemi sekaligus pula di era teknologi digital yang bergerak masif. Untuk itulah perlu dan sekali lagi penting meneruskan suatu ketradisian yang inklusif dalam berbudaya ataupun kebudayaan dengan jalinan yang mengedepankan ketradisian yang dapat meningkatkan kelembutan kesejahteraan dengan pengertian bahwa kebudayaan yang dapat memberikan inspirasi untuk senantiasa mengedepankan kepentingan bergotong royong dalam menunjukkan seni hidup yang saling memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia termasuk terutama dalam konteks dan aktualitas dari tulisan ini yaitu memberikan ketegasan dalam diri untuk terus berkembang dan bergotong royong dalam diri serta menciptakan bentuk kegotongroyongan baru berupa kelembutan ekonomi sebagai lawan dari kekerasan kesejahteraan sehingga menjadi suatu kelembutan kesejahteraan yang dapat membangkitkan semangat dari keterpurukan akibat Covid-19.

Penulis Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *