Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Karna adalah tokoh penting dalam epos Mahabharata. Dalam tuturan pewayangan Jawa dan Bali, tokoh ini adalah pendukung utama pihak Korawa, lawan dari Pandawa. Karna digambarkan sebagai loyalis sejati Duryadana. Maklum, jabatan yang dihadiahi pimpiman Korawa itulah mengangkat derajat Karna bermahkota raja di Awangga, wilayah kerajaan Hastinapura.

Sebelumnya, Karna hanya dikenal sebagai rakyat rendahan, anak seorang kusir kereta yang kerap dilecehkan. Namun keperkasaan dan keberanian yang ditunjukkan Karna, dimanfaatkan dengan jeli oleh Duryadana. Jabatan tinggi, tunjangan fasilitas dan segala kemewahan duniawi yang memabukkan Karna, menjadikannya angkuh dan sombong. Sikap dan kehidupannya kontroversial.

Penonton sendratari kolosal Pesta Kesenian Bali (PKB) yang lakonnya mengacu pada wiracerita Mahabharata, sangat mengenal tokoh Karna. Sekitar tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an, pementasan sendratari yang dibawakan ASTI/STSI (kini ISI Denpasar) dan juga yang dipergelarkan Kokar/SMKI (kini SMK Negeri 3 Sukawati), digandrungi masyarakat penonton dengan kehadiran figur tokoh Karna, selain satria tangguh Bima dan si licik Sakuni (Bali: Sengkuni).

Keangkuhan karakter Karna pada era kejayaan sendratari PKB itu dibawakan penuh penghayatan oleh seniman tari I Nyoman Suarsa. Gaya berdirinya dengan tangan bersidekap, kepala agak mendongak sombong disertai ekspresi yang ketus hingga kini masih dikenang pencinta seni pertunjukan Bali.

Lakon seni pentas yang menghadirkan tokoh Karna sudah banyak dituturkan dalam seni pedalangan Bali. Para dalang wayang kulit Desa Sukawati, dari dalang tahun 1950-1980 seperti I Nyoman Granyam, I Ketut Madra, I Wayan Wija hingga generasi dalang belakangan seperti I Made Juanda, I Wayan Mardika, dan Bagus Natya, begitu familiar dengan lakon berfokus pada tokoh Karna.

Baca juga:  Efektivitas Pembukaan Pariwisata Bali

Terutama yang paling sering disuguhkan ke hadapan penonton adalah perang tanding antara Arjuna versus Karna. Dalang Bagus Natya, misalnya, keluar sebagai juara I Lomba Dalang Remaja PKB 2013 dengan menyajikan gugurnya Karna oleh sejata pamungkas Arjuna di medan peperangan Kuruksetra.

Kematian Karna dalam perang saudara Bharatayuda itu memang memiliki persyaratan dramatik untuk dipentaskan. Sebagai panglima perang atas penugasan dari Duryadana, Karna menunjukkan totalitas dan balas budinya. Karna meminta Salya sebagai pengendali kereta perangnya. Sedangkan Arjuna tetap dengan setia ditemani oleh Kresna. Dalam peperangan yang berlangsung sengit itu, Karna tak kalah unggul dari Arjuna. Sial, ketika roda kereta Karna terjerembab pada kubangan lumpur, pertanda kekalahan menghampirinya. Ketika Karna lengah, turun melongok roda keretanya, Arjuna dengan sigap melepas anak panahnya menghujam tubuh Karna dan tewas. Penonton wayang sering secara khusus menyimak adegan ini. Adegan perang Karna vs Arjuna ini memerlukan keterampilkan tinggi dan tenaga ekstra bagi para dalang wayang kulit Bali.

Jagat seni pertunjukan yang mengisahkan salah satu perang dahsyat di tegal Kuruksetra itu juga pernah digarap beberapa kali dalam ungkapan palegongan, yaitu tari kembangan berorientasi dari tari klasik Legong. ‘’Adipati Awangga’’ (1987) adalah tari palegongan karya I Wayan Dibia menggambarkan lakon masyhur itu dalam idiom estetika koreografi abstrak simbolik sarat nuansa naratif-ekspresif. Sementara itu, melalui titik pijak lakon yang sama, pada tahun 1989 muncul ‘’Satya Brasta’’ karya I Nyoman Cerita dalam ungkapan tari kreasi dibawakan sejumlah penari pria. Menggunakan properti tari inovatif seperti pajeng-tombak, kipas besar-gada, dan anak panah, hingga kini tari ini masih sering dipentaskan dalam berbagai kesempatan.

Baca juga:  Bali, Pariwisata, dan Kebhinekaan

Walau yang sering digarap para kreator seni pertunjukan lebih banyak perihal akhir riwayatnya, sejatinya asal-usul dan perjalanan hidup Karna sungguh berliku. Kelahirannya, seperti yang ceritakan dalam Adiparwa, episode pertama Mahabharata, Karna muncul ke dunia secara gaib. Kunti, wanita yang dianggap melahirkannya, tak mau mengakui, karena malu punya bayi dengan status belum bersuami. Syahdan, Kunti secara tak sengaja menggumamkan mantra sakti hadiah dari seorang pendeta dengan sekelabat imajinasi atas sinar cemerlang Dewa Surya. Sungguh ajaib, lahirlah bayi laki-laki dari telinga Kunti yang kemudian dengan tergesa-gesa dihanyutkan di Sungai Gangga.

Singkat cerita, ketika genderang perang saudara Korawa versus Pandawa ditabuh, Kunti dengan tulus hati meminta Karna tidak saling bunuh dengan Pandawa, saudaranya sendiri. Permintaan ibunya sama sekali tidak digubris oleh Karna. Karna tetap konsisten pada penderiannya berada di pihak Korawa dan akan menghadapi segala konsekuensinya. Arjuna sudah menjadi target utama untuk dihadapinya secara ksatria, hidup atau mati. Kunti  berlinang pilu dan berkalang terenyuh dengan sikap tak bisa ditawar dari putra tertuanya, Karna, yang siap tempur menghancurkan Pandawa untuk merengkuh kemenangan bagi Korawa. Di akhir pertemuan ibu dan anak itu, bahkan Karna menyudutkan Kunti dengan menyebut sebagai wanita tidak bertanggung jawab dan tidak berperikemanusiaan karena mencampakkan dirinya saat bayi.

Baca juga:  G20 Belajar Mendengarkan di Bali

Jika dipandang dari moralitas zaman sekarang, di satu sisi, tokoh Karna dalam Mahabharata adalah pencapaian manusia yang mandiri dan tahan banting. Prestasi yang ditorehkannya tidak diraih secara instans melainkan sarat rintangan dan tantangan, dari rakyat jelata yang terhina berhasil menggapai puncak jabatan tinggi.

Moral positif dari tokoh Karna kiranya tak tabu untuk diteladani. Sayang sekali, jagat wayang dan seni pertunjukan lainnya dengan acuan epos Mahabharata, memberikan karakter angkuh dan sombong pada dirinya. Karna digambarkan adigang adigung, merasa diri serba tahu, super pintar, selalu menempatkan diri sebagai orang penting, sehingga Bhisma sempat tak mau berperang melawan Pandawa bila harus didampingi Karna yang arogan. Apabila Mahabharata tidak membubuhi karakter angkuh dan sombong pada Karna, bisa jadi dalam kontekstualisasi kehidupan masa kini, tokoh kenes  dan tampan ini jadi idola masyarakat.

Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Di mahabharata, Karna di gambarkan seorang ksatria hebat yang hidupnya penuh dengan penderitaan dan hinaan. Dia orang yang baik, hanya saja dia terjerat sumpahnya kepada Duryudana. Apalagi setelah tahu bahwa pandawa adalah adiknya, Karna terpaksa berada di pihak kurawa dan menderita harus melawan adik adiknya sendiri. Jujur gw suka bgt sii sama tokoh Karna di versi mahabharata, sama aktornya juga suka bangetttttt. Karna melambangkan pengorbanan, pengamal terbaik, pemanah terbaik, pokoknya semua sifat yang di miliki kelima pandawa ada di dalam sifatnya Karna.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *