Suasana di Pura Pasar Agung Besakih. (BP/Istimewa)

Oleh Sugi Lanus

Tertulis dalam lontar ada pemimpin Bali menghalangi masyarakat memuja Bhatara Tolangkir. Nama pemimpin Bali itu adalah Shri Aji Mayadanawa. Nasibnya berujung sial tersingkir. Ia diserbu bala tentara dan rakyat yang dipimpin panglima dan para mpu.

Kisah tersebut tertulis dalam beberapa lontar penting di Bali seperti: Usana Bali, Usana Jawa, Katuturan Sangkulputih, dan Babad Pasek. Shri Aji Mayadanawa adalah julukan pada dua sosok pemimpin Bali: Sosok pertama disebutkan hidup sekitar tahun 974 Masehi atau zaman periode raja Bali Kuno sebelum kedatangan Mpu Kuturan dan Mpu Bradah. Sosok kedua adalah pemimpin Bali yang diserbu pasukan Majapahit di bawah pimpinan Arya Damar dan Gajah Mada sekitar tahun 1343 Masehi.

Kedua sosok pemimpin Bali berjuluk Shri Aji Mayadanawa ini melarang masyarakat Bali sembahyang ke Besakih atau Bhatara Tolangkir. Sosok Mayadanawa pun identik dengan para pemimpin yang meninggalkan parahyangan Besakih dan Bhatara Tolangkir.

Lontar-lontar terkait tradisi suci pemujaan terhadap Bhatara Tolangkir menyebutkan: Kalau ada pemimpin atau penguasa Bali lupa dan tidak tahu berterimakasih pada Bhatara Tolangkir maka akan rusak jagat Bali. Raja-raja yang tidak mengerti pemujaan, tidak beryoga-samadi pada Bhatara Tolangkir akan pendek usia, nasibnya akan terjungkal. Jika pemimpin Bali tidak tahu tata cara pemujaan Bhatara Tolangkir akan membawa huru-hara dan kemelaratan pada masyarakat dan jagat Bali.

Dalam berbagai lontar penting di Bali lainnya disebutkan bahwa semua raja-raja di Bali, dari zaman Bali Kuno sampai Gelgel, dan berlanjut Smarapura, menjunjung dengan penuh rasa bakti dan hormat tertinggi pada Bhatara Tolangkir. Menjadi pertanyaan penting: “Kenapa raja-raja dan para punggawa Bali menaruh penghormatan tertinggi pada Bhatara Tolangkir? Siapa sebenarnya Bhatara Tolangkir?”

Tolangkir adalah nama lain dari Gunung Agung. “Bhatara Tolangkir” adalah gelar suci untuk Bhatara Mahadewa. Dinilai tidak paham sopan-santun bagi kalangan rsi, raja, punggawa dan masyarakat menyebutkan langsung nama tabik pikulun Bhatara Mahadewa, mengingat nama Beliau sangat disucikan. Masyarakat Bali diajari untuk tidak “jabag” (gegabah) menyebut-nyebut nama dewa atau bhatara secara langsung dalam perbincangan sehari-hari.

Oleh karena itu dalam perbincangan sehari-hari nama dewata disebut dengan gelar kedewataan sesuai lokasi pura, gunung atau stana suci para dewata yang distanakan di seantero pulau Bali. Karena alasan sakral dan kesantunan spirtual inilah maka tidak boleh langsung menyebut Bhatara Mahadewa tetapi yang disebut adalah gelar Beliau sebagai Bhatara Tolangkir. Begitulah ajaran kesantunan spiritual Bali.

Bahkan, di masa lalu menyebut nama orangtua atau kakek saja disebut bisa “tulah” (kena kutuk), apalagi menyebut langsung nama dewata dalam perbincangan sehari-hari. Nama-nama dewata dalam Kitab Weda dan Kitab Agama di Bali dikenal dengan sangat baik dan nama-nama dewata baru langsung disebut dalam puja kepanditaan dan persembahyangan. Dalam sehari-hari yang disebut adalah gelar sucinya sesuai pura tempat pemujaannya.

Baca juga:  Direvisi, Ini Nama-nama Desa Masuk KRB Gunung Agung

Dalam Babad Pasek disebutkan Bhatara Hyang Pasupati mengutus putranya Bhatara Mahadewa turun ke Bali ke Gunung Tolangkir. Selanjutnya Beliau disebut sebagai Bhatara Tolangkir yang berstana di Gunung Agung menjadi pelindung Pulau Bali dan manusia Bali.

Dalam lontar Sangkulputih menjelaskan turunnya Bhatara Mahadewa di Gunung Agung dan Besakih untuk dimuliakan di sana oleh pendeta tertinggi di Besakih ketika itu, yaitu pendeta Sangkulputih. Pendeta Sangkulputih dan istri menyaksikan dengan mata kepala sendiri turunnya Bhatara Mahadewa di Besakih dan selanjutnya kisah ini ditulis dalam lontar berjudul Sangkulputih yang menjadi pedoman utama kependetaan di Bali. Semua raja-raja Bali mengetahui keberadaan kisah “kawean” (keajaiban turunnya dewata) ini.

Kisah turunnya Bhatara Mahadewa di Besakih ini menjadi alasan kenapa muncul banyak lontar suci pedoman pemujaan serta upacara suci terpenting di Bali digelar di Besakih, tempat pemujaan Bhatara Tolangkir, pusat spiritual Pulau Dewata.

Lontar Kusumadewa yang menjadi pendoman kependetaan Hindu di Bali menjabarkan kosmologi Hindu Bali sesuai penjabaran Kitab Weda dan Kitab Agama bahwa pusat kosmik adalah Mahameru. Di Bali dijabarkan Gunung Tolangkir sebagai “representasi kosmologi” dari Gunung Mahameru yang mahasuci. Bhatara Tolangkir juga merujuk pada Bhatara Pasupati — hal ini mengingat Hyang Pasupati dan Bhatara Mahadewa dianggap “identik”. Penjelasan lontar Kusumadewa sebagai berikut:

“Cikal-bakal adanya Kahyangan Tiga (di Bali) adalah turunnya Bhatara Siwa dan para dewata beserta para pengiringnya. Turun Bhatara Siwa berstana di puncak Gunung Sumeru, diikuti oleh bhatara-bhatara lainnya. Di Watukaru berstana Bhatara Mahadewa. Yang berstana di Tolangkir adalah Bhatara Pasupati. Di Lampuyang, Bhatara Gnijaya. Di Gwa Lawah adalah Sanghyang Basukih. Di Uluwatu adalah Bhatara Putrajaya. Di Puser Tasik adalah Bhatara Awangkwarat. Para dewata turun bersama para pengiring pendamping, para Taksu, para Sedahan, dan I Mangkurat, diiringi gambelan, turut pula Bhutakala, Sariat Sariut, berdampingan dengan Bhuta Kuncang Kancing, yang menyusup dalam diri manusia di dunia, anggawe ala ayuning jagat kagayuh dening bhuta tiga mawak wisesa ring bhuwana (membuat baik buruk jagat yang digerakkan oleh kekuatan ‘bhuta tiga’ yang berkuasa di dunia)… Demikianlah para dewata turun ke dunia, Bhatara Iswara berada di timur, Bhatara Maheswara berada di tenggara. Bhatara Brahma di selatan, Sanghyang Rudra di barat daya. Sanghyang Mahadewa di barat. Sanghyang Sangkara di barat laut. Bhatara Wisnu di utara. Bhatara Sambhu di timur laut. Bhatara Siwa di puncak giri-raja, beserta Bhatari Saraswati turut menjadi pusat pujaan, semua penjuru jagat… Ong Siddhi rastu tatastu astu.”

Berdasarkan lontar kependetaan inilah kita mendapat penjelasan keberadaan Kayangan Tiga di Bali, yang distanakan atau dipuja adalah sinar suci Bhatara Siwa bersama manisfestasinya, turun di semua penjuru Pulau Bali. Di Watukaru adalah Bhatara Mahadewa. Di Tolangkir (Gunung Agung) adalah Bhatara Pasupati, di Lempuyang adalah Bhatara Gnijaya, turun serta para dewata lainnya.

Baca juga:  Evolusi Kebudayaan Bali

Di puncak-puncak gunung di Bali dan semua pura utama di Bali yang distanakan adalah para dewa berdasarkan Kitab Weda dan Agama, yang penyebutannya selanjutnya disesuaikan tradisi suci masyarakat Bali tradisional. Bhatara Iswara, Bhatara Brahma, Sanghyang Rudra, Sanghyang Mahadewa, Sanghyang Sangkara, Bhatara Wisnu, Bhatara Sambhu, Bhatara Siwa, dan seterusnya, termasuk Bhatari Saraswati menduduki posisi puncak-puncak gunung dan penjuru mata angin di Bali.

Ini sebab muasal kenapa Bali disebut Pulau Dewata. Semua yang dimuliakan di pura-pura di kaki gunung atau di puncak gunung-gunung di Bali adalah Dewata Nawa Sanga beserta pengiring pendampingnya. Para dewa yang turun dari alam suci nirmala turun atas kehendak Bhatara Siwa untuk menjaga dan melindungi Pulau Bali.

Selanjutnya, semua dewata yang distanakan di gunung-gunung dan pura-pura yang ada di kaki gunung di Bali adalah dewata yang diberi gelar sesuai dengan nama pegunungan lokasi daripada tempat berdirinya pura dan gunung tersebut. Orang Bali yang paham “anggah-ungguh sastra” pemujaan dan kedewataan tidak akan “jabag ngumbah-ambih” (tidak santun menyebut-nyebut) langsung nama dewa dalam perbincangan sehari-hari.

Dalam percakapan sehari-hari para dewa disebut sebagai Bhatara ring Lempuyang, Bhatara ring Gwa Lawang, Bhatara Tolangkir, Bhatara ring Piser Tasik, dstnya. Tidak lain sebutan itu adalah penghormatan para dewata dengan gelar suci peristilahan sastra-agama di Bali.

Semua pandita, pemangku, raja-raja, para punggawa di masa lalu membaca pendoman sastra lontar Sangkulputih, Kusumadewa, serta berbagai lontar kadyatmikan atau kebatinan suci Bali memahami dengan sangat hormat dan mendalam ketika menyebut bhatara-bhatara di puncak atau pura pegunungan di Bali sebagai Dewata dari alam suci nirmala yang distanakan di tempat-tempat suci tersebut.

Lontar suci berjudul Aksara Ring Sarira menyebutkan gelar-gelar dewata yang berstana di tempat-tempat suci tersebut dengan gelar-gelar suci sesuai tradisi kebatinan Bali, tidak secara langsung menyebut nama dewata, hanya gelarnya.

Lontar Sangkulputih menyebutkan dengan tegas jelas bahwa Bhatara Tolangkir adalah Bhatara Mahadewa:

“Kunang ri wuwusing mangkana, gumanti Paduka Bhatara, Hyang Pasupati ring giri Mahameru, ri kalana Margasira, Kresnapaksa Pancadasi amupak parswa-parswaning Giri Mahameru, pinarwa suang, ginamel dening tangan, kang ring tengen, ginawa maring Busakih, matemahan Gunung To-Langkir, nga, maka pangastanan Hyang Mahadewa, kang tangan kiwa, ginawa mareng Batur, nga. Gunung Lebah, maka pangastanan Ida Bhatara Dewi Danuh. Ya ta maka urip ikang buana aneng pulina, larapania kreta ikang rat, ndi ta matangnia mangkana, apan wus pepek upakarane Sangkuputih, ngastiti Bhatara, mangkana katuturania nguni aneng usana, enengakena ikang kata sakareng.”

Disebutkan bahwa Hyang Pasupati menyangga Gunung Basukih (Gunung Agung) atau bernama juga Gunung Tolangkir dengan tangan kanan-Nya, sebagai stana atau tempat pemujaan pada Hyang Mahadewa. Dengan tangan kiri-Nya Gunung Batur, atau disebut sebagai juga Gunung Lebah, sebagai stana pemujaan Ida Bhatara Dewi Danuh. Keduanya adalah putra-putri dari Hyang Pasupati yang bertugas memberi kehidupan dan kesejahteraaan Pulau Bali, menjaga dan melindungi para raja, rsi dan manusia Bali.

Baca juga:  Bali Kembali Berikan Relaksasi Pajak Kendaraan Bermotor, Ini Jenisnya

Lontar-lontar pedoman pemujaan di Bali mengamanatkan kepada para raja dan punggawa di Bali untuk memusatkan puja dan upakara mereka berpusat pada Gunung Agung atau Gunung Tolangkir, stana pemujaan Bhatara Tolangkir (Bhatara Mahadewa), bersama para dewata lainnya yang distana-puja di gunung-gunung di Bali. Pada pucak-pucak dan pura-pura di semua pegunungan Bali, para rsi, raja, dan krama Bali memohon ajaran suci kedewataan, tuntunan ruhaniah menuju kehidupan lahir batin yang mantap-mendalam, serta keselamatan jagat.

Yang dipuja seluruh penjuru Bali adalah para dewata suci nirmala yang turun bersama sinar suci Bhatara Siwa sesuai Kitab Weda dan Kitab Agama. Disebut nama-nama Beliau dalam “nama lokal” sesuai tuntunan kesantunan dan sikap hormat mendalam mengingat dianggap tidak beretika atau dinilai “jabag” menyebut Dewata Mahasuci dengan “sembarangan”.

Dalam tradisi suci kerohanian dan pemimpin Bali di masa lalu para pandita, raja dan masyarakat Bali dalam pemujaan pada Bhatara Tolangkir berpedoman lontar-lontar berikut: Usana Bali (Kirtya, IIIb. 4659), Usana Bali (Kirtya, Va. 4748), Usana Jawa (Kirtya, IIIb. 7109), Usana Jawa (Kirtya, Vb. 1516/5, tersimpan di Pusdok Bali), Kawroehan Koesoemadewa (Kirtya, IIIb. 1613), Kusuma Dewa (Kirtya, IIIc. 1804/21), Kusuma Dewa (Kirtya, Ib. 7072), Kusuma Dewa Purana I (Pusdok Bali), Kusuma Dewa Purana II (Pusdok Bali), Kusuma Dewa (Kirtya, Ib.7075), Pangastawa Sangkulputih (Pusdok Bali, Ma/IV/3/Dokbud), Sangkulputih (Kirtya, IIIb. 2624), Sang Kulpinge (Pusdok Bali, 4604.IIIc), Katuturanya Sangkulputih (Kirtya, IIIb.4745), Mpoe Koetoeran (Kirtya, IIb. 172), Hempu Kuturan (Kirtya, Ic. 4875), Babad Pasek (Kirtya, Va.3354), Padma Buwana-Prakempa (Pusdok Bali), dan Tutur Gong Besi (Pusdok Bali). Berdasar lontar-lontar inilah para raja dan pemimpin Bali menjadikan Bhatara Tolangkir sebagai pusat spiritual Pulau Dewata.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *