Lilik Sudiajeng. (BP/Istimewa)

Oleh Lilik Sudiajeng

Kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster melalui Pergub No. 24/2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut membawa angin segar bagi para pemerhati lingkungan. Para peneliti Politeknik Negeri Bali yang sejak tahun 2015 secara resmi telah mengusung ‘’Pariwisata Hijau Berkelanjutan’’ sebagai riset unggulan semua Civitas Akademika Politeknik Negeri Bali juga mengapresiasi. Salah satu topik riset yang ditekuni adalah masalah sumber daya air (SDA), baik terkait air permukaan maupun air tanah.

Diawali dari kerja sama antara Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali dengan Pemerintah Kota Denpasar melalui kajian air tanah Kota Denpasar pada tahun 2013, hingga meluas ke seluruh kabupaten di Provinsi Bali yang masih terus berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini.

Penelitian tidak hanya dilakukan untuk sumber air tanah, tetapi juga air permukaan seperti danau dan sungai. Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Politeknik Negeri Bali I Nyoman Abdi, S.E., M.eCom. dalam berita Bali Post (15/7), Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali memiliki beberapa Kelompok Bidang keahlian (KBK). Salah satunya adalah KBK Pengembangan Sumber Daya Air dan Lingkungan (PSDAL) yang dikomandani oleh Ir. Made Mudhina, M.T.

Sebagai pijakan awal dari penelitian bidang SDA adalah hasil penapisan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Bali tahun 2010, di mana dilaporkan terdapat 11 (sebelas) titik wilayah yang sudah menunjukkan adanya indikasi krisis air. Laporan KLHS Provinsi Bali 2010 ini sudah menjadi isu global, bahkan beberapa pemerhati lingkungan dunia menyatakan bahwa Bali akan menghadapi krisis air di tahun 2020.

Baca juga:  Membudayakan Kecakapan Beradaptasi

Terkait dengan riset bidang air tanah, sebanyak 564 sumur dangkal tersebar di seluruh kabupaten/kota Provinsi Bali telah diteliti kualitas, kedalaman muka air serta kapasitasnya. Demikian juga dengan sumur dalam (60 – 200 m) sebanyak 15 sumur. Sebagai luarannya adalah peta konservasi air tanah dan peta wilayah imbuhan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan teknis untuk pelaksanaan program konservasi SDA dan Peta Daya Hantar Listrik (DHL) yang menunjukkan adanya indikasi terjadinya intrusi air laut, khususnya di wilayah pantai.

Sambil terus melanjutkan penelitian sesuai dengan roadmap yang telah disusun sampai dengan tahun 2025, maka tim peneliti juga langsung menerapkan hasil penelitian tersebut sebagai aksi riil untuk mencegah terjadinya krisis air di Bali.

Salah satu luaran penelitian yang telah diterapkan melalui program pengabdian kepada masyarakat dan sudah terukur manfaatnya adalah Inovasi Sumur Pemanen Air Hujan baik yang dangkal untuk mengimbangi pemanfaatan air tanah oleh domestik (SPAHUDO) maupun sumur bor untuk mengimbangi pemanfaatan air tanah oleh industri (SUMBER). Baik SPAHUDO maupun SUMBER didesain melalui pendekatan ergo-hidrogeologi yang mensinergikan ilmu ergonomi, geoteknik dan hidrolika.

Baca juga:  Pandemi dan Pelajaran dari Puputan Margarana

Sinergi ketiga ilmu tersebut telah menghasilkan desain teknis yang mudah, fleksibel, dan indah yang mampu mengubah mindset masyarakat bahwa sumur tidak harus ditempatkan di sudut halaman belakang yang tersembunyi, melainkan dapat ditempatkan di halaman depan, menyatu dengan keindahan dan keasrian rumah. Di samping pembuatan sumur pemanen air hujan, maka juga telah dilakukan sosialisasi dan propaganda budaya hemat air dan peduli lingkungan, mulai dari PAUD melalui ‘’Buku Aktivitas dan Mewarnai’’ hingga masyarakat dewasa melalui penyuluhan dan video yang bertemakan ‘’Selamatkan Air Kita’’, serta kegiatan peduli lingkungan lainnya.

Hasil penelitian, sosialisasi dan propaganda budaya hemat air yang didukung sepenuhnya oleh Politeknik Negeri Bali, Kemendikbud RI dan bekerja sama dengan Kota Denpasar, Provinsi Bali serta Yayasan Idep Selaras Alam ini telah mengetuk beberapa relawan untuk ikut membangun SPAHUDO maupun SUMBER yang menyebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali. Saat ini sudah terbangun sejumlah 43 SPAHUDO dan 4 SUMBER yang sudah terbukti efektivitasnya dalam memanen air hujan untuk dikembalikan ke dalam tanah hingga mengisi kembali akuifer yang merupakan sumber air yang harus dilestarikan.

Baca juga:  Sikap Sosial Pembangkit COVID-19

Apa yang sudah dilakukan oleh tim peneliti Jurusan Teknik Sipil bersama mitra Politeknik Negeri Bali ini mungkin hanya mampu manabung setetes air, namun apabila didukung oleh Kebijakan Gerakan Bali Menabung Air yang melibatkan seluruh masyarakat, termasuk masyarakat industri, dapat diyakini bahwa Bali tidak akan menghadapi krisis air di masa kini maupun di masa yang akan datang sebagaimana yang selama ini diisukan secara global di mancanegara.

Gandhi mengatakan bahwa bumi, udara, tanah, dan air bukanlah warisan dari nenek moyang kita yang boleh kita habiskan, tetapi merupakan pinjaman dari anak dan cucu kita. Jadi harus diserahterimakan kembali kepada mereka setidaknya seperti yang diserahkan kepada kita. Semoga tulisan kecil ini mampu menggugah dan membangunkan kita semua untuk segera memulai gerakan menabung air ini untuk menjamin kesejahteraan anak-cucu kita di masa mendatang.

Penulis, Profesor Bidang Ergonomi Fisiologi Kerja, Dosen Teknik Sipil Politeknik Negeri Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *