Dr. Pande Gde Sasmita. (BP/Istimewa)

Oleh: Dr. Pande Gde Sasmita

Pandemi COVID19 telah menginfeksi 4 juta lebih manusia di 215 negara sangat terasa dampaknya di seluruh aspek kehidupan. Organisasi pangan dunia FAO mengingatkan ancaman krisis pangan dunia jika wabah ini terjadi berkepanjangan karena terhambatnya jalur distribusi bahan pangan.

Oleh karena itu kemandirian produksi bahan pangan mulai dari level keluarga menjadi sangat penting, salah satunya dengan menghasilkan produk pangan organik memanfaatkan lahan yang tersedia di rumah sesuai konsep urban farming.

Salah satu model pelaksanaan urban farming adalah sistem akuaponik. Akuaponik merupakan perpaduan budidaya perikanan (akuakultur) dengan budidaya tanaman sistem hidroponik. Sistem akuaponik memanfaatkan produk hasil metabolisme ikan dalam bentuk ammonium (NH4+) yang akan dikonversi oleh bakteri nitrifikasi menjadi nitrit (NO2- ) dan nitrat (NO3-) sebagai sumber nutrisi tanaman.

Jenis tanaman yang bisa digunakan tanaman semusim yang tahan hidup pada media berkadar air tinggi seperti kangkung, bayam, pokcai, selada air, caisin, kalian, tomat, cabai, terong, paprika dan beberapa jenis tanaman bunga. Sedangkan jenis ikan air tawar yang bisa digunakan adalah semua jenis yang memiliki pertumbuhan cepat, mudah dalam proses budidaya dan bernilai ekonomi tinggi misalnya ikan lele atau nila.

Baca juga:  Sensus Penduduk dan Penantian Bonus Demografi

Beberapa tipe akuaponik salah satunya adalah sistem yang langsung memadukan budidaya ikan dan tanaman dalam satu wadah misalnya model budidaya ikan dalam ember (budidamber) dan sistem terapung. Satu ember model budidamber kapasitas 60 liter dapat digunakan untuk memelihara 60 ekor bibit ikan lele dipadukan dengan semaian kangkung yang diletakkan pada pot kecil dan dikaitkan pada pinggiran wadah.

Model akuaponik lainnya menempatkan wadah budidaya ikan dan budidaya tanaman secara terpisah dilengkapi resirkulasi air dan sistem filtrasi. Jenis filter yang digunakan yaitu filter mekanik untuk penyaringan partikel besar dan pengendapan, serta filter biologi (biofilter) yang diisi bioball atau media lain sebagai substrat bakteri nitrifikasi.

Baca juga:  Sastra dan Legitimasi Media “Online”

Tipe akuaponik seperti ini dalam aplikasinya bisa dibuat menjadi 3 macam yaitu, sistem media bed, deep water culture (DWC) dan nutrient film technique (NFT). Sistem media bed menggunakan media yang berfungsi ganda sebagai media tanam sekaligus sebagai filter mekanis dan biologis.

Sistem DWC yang merupakan tipe akuaponik terapung yang dilengkapi filter dan resirkulasi, sedangkan sistem NFT adalah tipe akuaponik yang menggunakan pipa PVC sebagai wadah unit budidaya tanaman dan disusun vertikal memanfaakan lahan yang sempit. Menurut Pantanella (2018), kecukupan nutrisi pada sistem akuaponik untuk luasan 2-4 m2 tanaman akan terpenuhi oleh 15-20 kg biomasa ikan serta direkomendasikan menggunakan 600 m2 luasan permukaan media biofilter per m3 air pemeliharaan ikan.

Baca juga:  Siklus Kesempatan Berbisnis

Semakin terbatasnya lahan dan sumber air yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya membuat sistem akuaponik ini menjadi pilihan rasional untuk diterapkan. Secara ekonomis, budidaya ikan dan sayuran dalam sistem akuaponik idealnya akan dapat meningkatkan produktivitas usaha budidaya perikanan dan pertanian.

Sedangkan secara ekologis, sistem akuaponik merupakan metode budidaya perikanan tanpa limbah (zero waste) dan sangat hemat dalam penggunaan air. Kita semua tentu berharap pandemi COVID-19 ini akan segera berakhir, namun juga harus siap untuk mengantisipasi jika kondisi pandemi ini terjadi berkepanjangan dan berpotensi menimbulkan krisis pangan. Berbudidaya ikan dan tanaman sayur dalam sistem akuaponik adalah salah satu solusi untuk mewujudkan kemandirian pangan keluarga. Selamat mencoba.

Penulis, Dosen Prodi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *