Sejumlah babi yang mati mendadak dikuburkan. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Disibukkan dengan wabah COVID-19, kasus kematian babi mendadak di Bali ternyata masih terjadi. Namun, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali mengklaim angka kematian babi sudah menunjukkan tren penurunan.

Hingga sekarang, penyebab kematian babi belum diketahui secara pasti atau masih disebut suspect ASF (African Swine Fever). “Mau dikirim hasilnya (uji sampel babi mati, red) atau tidak, menurut saya tidak penting. Mau sakit apapun, yang penting SOP-nya sudah kita lakukan seperti pengendalian ASF,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana di Denpasar, Senin (27/4).

Baca juga:  Triwulan I, Serapan DAK di Klungkung Nihil

Terbukti sekarang, lanjut Wisnuardhana, tren babi mati sudah menurun drastis. Jika sebelumnya bisa mencapai 1000 ekor dalam sebulan, kini di bulan April saja sudah kurang dari 100 ekor.

Secara akumulatif, jumlah babi mati sejak Desember dikatakan 3.408 ekor dari total 762 ribu ekor populasi babi. Populasi babi paling banyak ada di Buleleng. Namun yang mati dominan ada di Badung. “Kenapa menurun kematian babi? Yang pertama karena kebijakan social distancing ini, sangat membantu,” katanya.

Baca juga:  Pasangan Prabowo-Gibran Ditetapkan Jadi Presiden dan Wapres Terpilih

Menurut Wisnuardhana, sebelum ada COVID-19, lalu lintas babi cukup tinggi sehingga penyakit menyebar signifikan. Terutama dari daerah tertular ke daerah yang tidak tertular. Dengan adanya social dan physical distancing, lalu lintas babi menjadi sangat terbatas.

Selain itu karena ada COVID-19 pula, masyarakat kini melakukan penyemprotan disinfektan secara besar-besaran. Penyemprotan disinfektan hingga ke tingkat desa/kampung juga membantu menekan penyebaran penyakit babi. “Disinfektan untuk membunuh COVID-19 ini sama dengan untuk membunuh virus babi,” jelasnya.

Walaupun sudah terjadi penurunan jumlah babi mati, Wisnuardhana mengingatkan peternak agar tidak lengah. Namun tetap melakukan upaya-upaya pengendalian dan pencegahan. Kalau ada babi yang sakit, supaya dipisahkan dari babi yang sehat.

Baca juga:  Kasus SPI Unud Masih Berkutat di Saksi, 3 Orang dari Rektorat Diperiksa

Kalau ada babi mati agar dikubur dan jangan dibuang ke sungai. Sebab, bangkai babi yang dibuang ke sungai juga sangat berpengaruh terhadap penularan penyakit babi ke wilayah aman/belum terjangkit. “Kemudian, supaya tetap dilaksanakan sterilisasi kandang. Kandangnya dibersihkan, didisinfektan paling tidak dua minggu sekali. Lalu pakannya supaya dimasak yang bagus,” imbuhnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *