Umat Hindu ngayah di Pura Dasar Bhuana. (BP/Istimewa)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pura Dasar Buana, di Desa Adat Gelgel, Klungkung, berasal dari pemujaan pra-Hindu. Semula amat sederhana, berawal dari adanya Batu Medengdeng, bernama Sila Majemuh.

Batu ini ada dengan sendirinya tanpa ada yang membawanya sebagai dasar gumi. Cerita awal berdirinya Pura Dasar Buana ini, disampaikan tokoh masyarakat Klungkung, Dewa Ketut Soma, Jumat (7/2).

Berawal dari batu bersinar sila majemuh, Empu Gana dan yoga yogi mejemuh, mengolah yoga, mengolah tapa, nangun kerthi, untuk ketentraman jagat. Tujuan beliau melakukan tapa untuk nangun kerthi agar kertha, untuk ketentraman jagat, jagat alit-jagat agung.

Lama kelamaan, ketika era Dalem berkuasa di Gelgel, ditatalah tempat ini. Membangun pura lengkap dengan pelinggihnya.

Untuk pembangunan fisik pura, dikisahkan kepercayaan diberikan kepada warga Pasek, karena mal, ukuran perundagian dipegang oleh mereka. Untuk menyukseskan pembangunan ini, diserahkan berbagai senjata, seperti timpas, pahat, dan sebagainya kepada warga pande.

Atas jasanya, mereka diizinkan membangun palinggih Ratu Pasek di sisi kaler dan Ratu Pande di sisi kelod. Kemudian batu bersinar Sila Majemuh ini dibuatkan palinggih permanen dalam bentuk Meru Tumpang Solas sebagai sthana Ida Bhatara Dasar Buana.

Baca juga:  Tangani COVID-19, Desa Adat dan Dinas Harus Berbagi Peran

Kemudian, di jaba tengah di bangun Bale Agung sebagai tempat sidang, untuk numbuhang saluiring daging gumi, dan sebelah timurnya dibangun Puseh sebagai puseran (debit air) untuk ngamerthanin gumi serta Melanting sebagai linggih Sri Sedana (beras-pipis) sebagai dasar mertha manusia.

Di sebelah tenggara pura, dibangun Taman Beji sebagai tempat pesucian Ida Bhatara Dasar Buana dan juga difungsikan sebagai tempat ngingsah beras pada saat pelaksanaan yadnya-yadnya besar di Kahyangan Jagat Dasar Buana.

Setelah Pura selesai dibangun, Dalem Gelgel, mengumpulkan semua rakyat, semua warga, untuk menyatukan diri, agar semua warga pada ingat pasa kawitannya. Tujuannya untuk ingat pada ayah ibu, dasarnya dan kawitannya.

Penyatuan pengukuhan semua warga ini dinamakan Pemacekan Agung, bukan saja pemacekan (5 hari setelah Galungan dan 5 hari menjelang Kuningan). “Kata Pemacekan ini mengandung makna dalam, dari bahasa pacek yang artinya tekenan, tanda tangan, serta agung artinya besar. Pemacekan Agung pengukuhan penyatuan semua warga,” tegas tokoh yang sering dilibatkan dalam upacara agama besar di Klungkung ini.

Baca juga:  "Masineb", Karya Agung di Pura Dasar Bhuana

Berdasarkan itu, Pura Dasar Buana yang berawal dari sila majemuh, kemudian dibangun dan ditata serta dilengkapi beberapa pangayengan dan palinggih lainnya, sebagaimana yang diwarisi sampai sekarang. Kini, menjadi tempat suci umat Hindu, sebagai Kahyangan Jagat.

“Karena berstatus kahyangan jagat, maka disebut kahyangan jagat dasar buana, bukan pura kawitan, bukan pura catur warga, karena warga dari berbagai trah itu banyak dan juga bukan pura pemujaan leluhur raja-raja, karena pemujaan leluhur raja sudah ada pedarman,” jelas Dewa Soma.

Sedangkan fungsinya sebagai pura penyatuan semua warga dari tatakan yang sama, dasar yang sama, untuk menyatukan diri eling ring kawit, eling mesolah, eling mekerthi, agar sida mesila-mesolah nangun tapa-nangun kerthi yang diperingati setiap Pemacekan Agung. Ini dinamakan pujawali.

Baca juga:  Prosesi Melasti Rangkaian Karya di Pura Penataran Sasih

Kemudian untuk selalu ingat pada Ibu (dewi uma) yang ngamertanin umat, dilaksanakan upacara Ngusabha Nini setiap Purnama Kapat, untuk eling ring Nini Patuk-Kaki Patuk sebagai dewaning uma, sebagaimana yang kita warisi secara turun termurun.

Kini, setelah setahun pelaksanaan Karya Agung Tawur Panca Wali Krama, Penyejeg Gumi lan Pedanan, Pengebek, Penegteg Jagat, Piodalan dan Mapeselang di Pura Dasar Buana ini, Desa Adat Gelgel menyempurnakan upacara itu dengan menggelar upacara Mupuk Karya Agung. Dewa Soma sebagai pangenter upacara Mupuk Karya Agung ini, mengatakan puncaknya akan digelar di Pura Dasar Buana, Desa Adat Gelgel, pada 24 Februari. Dengan Mupuk Karya Agung ini diharapkan apapun kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan karya agung itu, dapat disempurnakan secara sekala dan niskala. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

1 KOMENTAR

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *