Pemudik pengendara motor turun dari kapal di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Mudik sudah menjadi tradisi di Indonesia. Karena ada pembaruan dalam melaksanakan mudik, dapat juga dikatakan sebagai sebuah budaya. Di masa lalu, mudik merupakan gabungan antara perayaan hari raya dengan kekangenan terhadap lingkungan atau keluarga asal.

Ini terus berkembang dengan menambahkan unsur-unsur pesan kepada masyarakat untuk bekerja keras demi mencapai sukses sampai kemudian dengan mengajak tetangga untuk pergi ke kota. Mudik juga bagian dari pameran.Memperlihatkan keberhasilan dengan indikator instrumen yang dibawa pulang (mobil, pakaian, gaya dan sebagainya). Dari sisi transportasi, berbagai pembaruan dilakukan, mulai dari berdesakan belasan jam di kereta api pada zaman Orde Baru sampai dengan ‘’dibuatkan’’ jalan tol di zaman Joko Widodo. Jadi, bolehlah dikatakan mudik itu sudah lekat dengan budaya.

Berbagai pembaruan dan pemberdayaan dilakukan. Karena sudah lekat dengan budaya seperti yang disebutkan di atas, maka tradisi tersebut tidak akan mungkin bisa diubah lagi di Indonesia. Mudik menjadi sebuah kebutuhan, pesan, strategi seni, legitimasi bahkan juga politis.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sedang berkembang. Mudik yang bagaimanapun konotasinya (orang udik) merupakan ciri dari masyarakat sedang berkembang, itu karena peristiwa ini merupakan kebutuhan masyarakat. Mereka memerlukan itu untuk alasan psikologis maupun sosial.

Di sini pulang kampung itu merupakan keperluan psikologis mereka untuk menuntaskan kerinduan terhadap suasana kampung. Bagaimanapun mereka-mereka ini adalah orang kampung yang karena alasan pekerjaan terpaksa migrasi ke kota. Sifat asli mereka sukar dilepas dari masa lalu, sehingga kehidupan kota tetap terasa asing.

Karena itu pulang kampung merupakan kebutuhan psikologis untuk menyerap energi kampung yang kelak kembali dipakai untuk berkehidupan di kota. Ini terus-terusan begitu setiap tahun. Orang yang sudah menjadi masyarakat kota asli, tidak akan merindukan lagi suasana kampung.

Baca juga:  “Pegat Wakan” Dharma Terputus?

Di sini kebutuhan psikologis tersebut akan bergabung dengan kebutuhan sosial, di mana mereka akan bertemu dan berinteraksi lagi dengan kawan-kawan lama. Perangkat modern seperti WA, sama sekali tidak bernyawa di sini. Mereka lebih suka berbicara dan bertemu langsung.

Di dalam fenomena mudik, jelas ada pesan. Secara internal bagi pemudik, pesan ini juga bersentuhan dengan faktor psikologis. Mereka memberikan contoh bagaimana hidup baik secara ekonomis. Banyak yang menyebutkan bahwa alasan para pemudik ini datang ke kota adalah karena keterbatasan berbagai sarana di kampung (ekonomi sosial).

Mereka sukar mendapatkan pekerjaan di kampung, juga meningkatkan status ekonomi, kesejahteraan serta hiburan. Karena itulah ketika para pemudik ini pulang kampung dengan mobil dengan pakaian dan cerita kesuksesan, ini merupakan pesan tak tertulis kepada orang kampung untuk datang ke kota.

Tidak lupa juga jauh di balik pesan tersebut adalah sebuah kecaman bahwa desa bukan merupakan tempat yang pantas untuk meningkatkan kehidupan. Artinya, kehidupan petani perikanan dan segala yang tersangkut di dalamnya, bukan merupakan cara untuk menjadikan hidup yang lebih baik. Jadi pergilah ke kota! Secara eksternal, pesan para pengudik ini tertuju kepada pengelola masyarakat, yang pada tingkat tertinggi adalah pemerintah.

Seharusnya pemerintah tidak hanya menjadi tukang perintah saja, tetapi memberikan solusi terhadap mereka-mereka jutaan jumlahnya itu bolak-balik setiap tahun dari kota ke desa dan dari desa ke kota. Pemerintah harus lebih giat lagi membangun berbagai kebutuhan sosial di desa dan memangkas jarak antara kebutuhan kota degan desa.

Baca juga:  Jelang Lebaran, Belasan Pelaku Kriminal Ditangkap

Semakin banyak pemudik setiap tahun, semakin gagal pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Nah, dalam konteks ini, harus diakui pembuatan jalan tol trans Jawa, juga trans Sumatera dan berbagai sambungan internet sampai ke pelosok adalah upaya pemerintah untuk mengurangi kesenjangan itu. Kini giliran rakyatlah yang harus memintarkan diri untuk memanfaatkan hal itu.

Sebagai sebuah strategi-seni mudik merupakan kiat untuk melepaskan diri dari kehidupan kota. Bagaimanapun, dari orang kampung untuk menjadi orang kota, memerlukan transisi, latihan dan kesiapan mental. Boleh dikatakan, mereka yang mudik ini tidak mampu mengatasi persoalan tersebut.

Bahwa pemerintah sampai memberikan waktu libur sampai lebih dari seminggu dan keemudian menjatuhkan sanksi bagi mereka yang lambat bekerja di kantor, merupakan pesan kuat terhadap hal itu. Di masa lalu banyak para pemudik ini, termasuk pekerja pemerintah (ASN) yang berlama-lama tinggal di kampung, melebihi cuti yang digenggamnya. Dalam konteks strategi, ini merupakan kiat psikologis untuk menghadapi kehidupan kota, dan dalam hal pekerjaan, strategi untuk memperpanjang liburan karena ada beragam alasan yang berkaitan dengan kampung.

Pada masyarakat yang berbudaya gotong royong, sekali ‘’menyentuh’’ kampung, segala macam kegiatan akan dilekatkan: menikah, kematian, pembangunan rumah, melaspas, dan sebagainya. Sampai sekarang, berbagai strategi untuk lebih lama di kampung terus dilakukan, terutama untuk mereka yang bekerja di luar lembaga pemerintahan: saling tukar shift, pulang mendahului di hari Sabtu sampai dengan hitungan bolos dua hari.

Mudik adalah strategi dan keberhasilan untuk menerapkan strategi ini, bagaimanapun penerapannya, akan dapat dirasakan sebagai sebuah seni. Mereka merasa gembira, puas dan menikmati hasil strateginya tersebut.

Baca juga:  Perekonomian Kerthi Bali dan Prospek Bali ke Depan

Sebagai sebuah masyarakat yang hidup di dua tempat, desa dan kota, maka mudik ini adalah sebuah legitimasi. Masyarakat desa tidak akan pernah mengakui keberhasilan seseorang yang bermigrasi ke kota jika mereka tidak pernah kembali ke desa.

Melupakan desa mempunyai arti meninggalkan kerabat, meninggalkan lingkungan asli. Ini sama dengan masyarakat Hindu Bali, yang sering disebut ninggalin kemulan jika tidak pernah pulang kampung. Maka, bagaimanapun suksesnya mereka di kota, tidak akan pernah mendapatkan pengakuan (legitimasi) sosial jika tidak pernah pulang kampung. Lagi-lagi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat kampung, dan karena itu mudik akan sangat susah dihilangkan.

Jangan dilupakan, pengaruh dan penyampaian pesan merupakan bagian dari politik. Setidak-tidaknya merupakan bagian terkecil dari politik. Karena itu, para pemudik akan melakukan pembelajaran politik melalui pesan-pesan yang disampaikan.

Mengajak tetangga, sanak-saudara untuk datang ke kota, merupakan bagian dari pengaruh itu karena semakin tahun semakin banyak orang udik yang datang ke kota mencari pekerjaan. Sejak dekade tujuh puluhan Orde Baru sudah mengatakan bahwa kehidupan kota itu tidaklah lebih baik dari desa. Tetapi pesan pemerintah ini selalu kalah.

Sebagian disebabkan oleh fakta bahwa di desa tidak ada pekerjaan dan sarana yang disediakan, dan sebagian disebabkan oleh pesan-pesan yang disuarakan oleh para pemudik ini. Jadi, politik yang paling sederhana justru telah diperkenalkan oleh para pemudik ini untuk memengaruhi lingkungannya.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *