DENPASAR, BALIPOST.com – Kawasan Daya Tarik Wisata Khusus (KDTWK) tidak hanya sekedar kawasan pariwisata strategis. Tapi juga memiliki fungsi perlindungan, baik terhadap budaya maupun lingkungan hidup di Bali.

Kalau sekarang ada keinginan untuk menambah Koefisien Dasar Bangunan (KDB) di KDTWK, itu artinya areal terbuka akan berkurang. “Kalau KDTWK itu misalnya ada di catchment area, itu kan tentu daerah tangkapan air hujan menjadi berkurang,” ujar Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, I Made Sudarma dikonfirmasi, Jumat (14/12).

Terlebih dalam revisi Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali, lanjut Sudarma, rencana penambahan KDB menjadi maksimal 40 persen itu dari luasan persil yang dikuasai. Dengan 10 persen saja, kemudian ada banyak persil dan masing-masing diberikan toleransi 10 persen, itu sudah cukup banyak memunculkan areal tertutup.

“Apalagi ditingkatkan (menjadi 40 persen, red). Catchment area pasti tersebar lokasinya. Makanya menurut saya, kenapa hal-hal yang memang mempunyai fungsi terhadap budaya dan lingkungan hidup itu harus ditambah lagi KDB-nya,” imbuhnya.

Menurut Sudarma, KDTWK yang utamanya memiliki fungsi perlindungan lingkungan hidup mestinya tidak perlu diobrak-abrik lagi KDB-nya. Kawasan tersebut jangan seluruhnya dieksplore untuk kepentingan pariwisata.

Baca juga:  Dampak Libur Akhir Tahun Mulai Terjadi, Denpasar Alami Lonjakan Kasus COVID-19

Apalagi, KDTWK itu merupakan catchment area atau daerah pelestarian. Belum lagi bicara desa wisata atau ekowisata. “Kenapa kita tidak mengeksplore keunikan atau kekayaan, ataupun potensi yang ada di daerah sana itu. Jangan ditujukan untuk fisik bangunan. Ada atraksi yang bisa ditambahkan, sehingga fungsi perlindungan budaya dan lingkungan hidup itu tidak berkurang,” paparnya.

Sudarma menambahkan, harus ada kajian daya dukung sebagai landasan KDB di KDTWK bisa dinaikkan. Mengingat, Bali selama ini tidak pernah memiliki justifikasi berupa analisis tentang daya dukung tersebut.

Oleh karena itu, KDB di KDTWK jangan diutak-atik lagi sebelum ada kajian yang mendukungnya. “Jangan semua daerah dieksploitasi untuk kepentingan pariwisata. Bali itu jangan crazy. Lingkungan itu dampaknya akan lama, baik dampak kejadiannya maupun dampak pemulihannya. Itu masalahnya, lingkungan tidak pernah marah seketika itu. Tapi kalau dia sudah marah, pemulihannya itu perlu sekian generasi,” tandasnya.

Dewan Daerah Walhi Bali, Suriadi Darmoko menegaskan, KDB di KDTWK jangan diubah dulu. Apalagi, Bali kini mengalami persoalan alih fungsi lahan.

Berdasarkan data yang beredar, alih fungsi sudah mencapai 1000 hektar per tahun termasuk pada lahan pertanian. Sementara rencana menambah KDB jelas mengakomodir pemanfaatan yang lebih luas di KDTWK.

Baca juga:  Tambahan Warga di Bali Terpapar COVID-19 Masih di Atas 800, Korban Jiwa Capai Puluhan

Itu artinya, instrument tata ruang justru tidak digunakan untuk melindungi Bali. “Ide itu sebenarnya tidak perlu lagi dilontarkan, karena yang dilakukan oleh Pemprov Bali seharusnya melindungi KDTWK-KDTWK yang ada itu dengan membatasi pemanfaatannya. Kalau dalam Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali disebutkan 10 persen, ya dibatasi segitu saja,” ujarnya.

Suriadi menambahkan, usulan penambahan KDB menjadi maksimal 40 persen justru memiliki potensi untuk mendegradasi. Begitu juga pada rencana menaikkan KDB dari 40 persen menjadi maksimal 50 persen pada Kawasan Strategis Pariwisata Daerah (KSPD).

Rencana kenaikan yang hanya 10 persen inipun bisa berdampak signifikan. Terlebih selama ini, fakta mengenai perbandingan ruang terbuka dan tertutup apakah masih lebih banyak ruang terbuka atau justru ruang terbuka telah dilampaui oleh ruang tertutup, tidak pernah diketahui.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Bali ini pun menyentil pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster terkait pemahaman yang harus dinamis menyangkut tawaran eksekutif menaikkan KDB hingga 40 persen di KDTWK. Terlebih, ilmu pengetahuan juga terus berkembang.

Terutama dikaitkan dengan kekhawatiran merusak Bali, ketersediaan air bersih, dan potensi bencana lantaran berkurangnya ruang terbuka hijau. “Bencana banjir, krisis air, itu sudah diprediksi dan sudah terjadi. Bali sudah digempur banjir, terutama di daerah selatan. Kalau pengetahuan itu ada, teknologi itu ada, kenapa tidak itu diatasi dulu. Jangan mengundang bencana baru,” jelasnya.

Baca juga:  Belum Melandai, Bali Masih Tambah Puluhan Kasus Baru COVID-19

Menurut Suriadi, kalau teknologi sudah dikuasai, mestinya tidak ada lagi banjir di Bali. Di sisi lain, teknologi pun memiliki keterbatasan. Setidaknya pada anggaran untuk mengaplikasikan teknologi tersebut.

Oleh karena itu, teknologi jangan dijadikan sebagai ilusi untuk meloloskan perluasan KDB. Hal lain yang juga disoroti adalah masalah ketersediaan air.

Mengingat, ada banyak studi yang menyatakan Bali akan mengalami krisis air. Sebagai contoh, studi Kementrian Lingkungan Hidup tahun 1995 menyatakan Bali akan mengalami krisis air pada 2015. Lalu studi BLH Bali yang memprediksi krisis air bersih pada 2025. “Kita sedang melihat dua data ini. Kalau kemudian di tahun 2025 air bersihnya sedikit, lalu dalam krisis kuantitas ini juga terjadi krisis kualitas, kita mau pakai apa? Seharusnya Pemprov itu berpikir tentang investasi lingkungan atau memperbesar porsi anggaran untuk pemulihan lingkungan. Termasuk menjadikan instrument tata ruang sebagai alat kontrol dan perlindungan Bali,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *