
DENPASAR, BALIPOST.com – Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan adat dan budaya Bali, sekaligus berdampak pada kualitas pariwisata.
Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali, Gde Sumarjaya Linggih, menilai pembangunan Bali masih belum berjalan secara adil dan berkualitas. Ketimpangan pertumbuhan antarwilayah tersebut dinilai berpotensi menggerus partisipasi adat dan budaya masyarakat, yang selama ini menjadi kekuatan utama Bali di mata dunia.
Menurut Sumarjaya yang akrab disapa Demer, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan adat dan budaya Bali, sekaligus berdampak pada kualitas pariwisata.
“Kekuatan Bali itu ada pada adat dan budayanya. Kalau pertumbuhan tidak merata, maka partisipasi adat dan budaya masyarakat akan semakin menurun. Ini pada akhirnya bisa menurunkan kualitas Bali dan minat masyarakat dunia untuk berkunjung ke Bali,” tegasnya, Selasa (30/12).
Ia menyebut persoalan ketimpangan pembangunan sebagai pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Isu tersebut, lanjutnya, juga telah ia sampaikan secara langsung dalam forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar.
“Saya sampaikan di Rapimnas kemarin, bahwa Bali menghadapi persoalan pertumbuhan yang tidak berkualitas akibat tidak adanya pemerataan pembangunan,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Demer mengusulkan adanya kebijakan strategis, baik melalui undang-undang, revisi regulasi, maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), khususnya terkait pengelolaan pajak hotel dan restoran (PHR). Ia mengusulkan agar PHR dikelola di tingkat provinsi guna menyeimbangkan pembangunan antarwilayah di Bali.
“Pajak hotel dan restoran sebaiknya dipusatkan di provinsi, sehingga bisa digunakan untuk menyeimbangkan pembangunan daerah-daerah yang tertinggal. Jangan sampai daerah yang sudah maju dan fasilitasnya masih sangat layak justru terus dibangun, sementara daerah lain kekurangan kebutuhan yang sangat primer,” tegasnya.
Ia menyoroti kondisi ironi pembangunan di Bali, di mana sebagian daerah mengalami apa yang ia sebut sebagai “pesta pora anggaran”, sementara daerah lain masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbatasan akses layanan dasar.
“Ada daerah yang bangunannya sudah bagus, masih layak bertahun-tahun ke depan, tapi tetap direnovasi hanya karena anggarannya harus habis di tahun berjalan. Sementara di sisi lain, ada daerah yang kekurangan fasilitas dasar, bahkan kebutuhan primer masyarakatnya tidak terpenuhi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa kemiskinan merupakan tanggung jawab negara yang harus diselesaikan secara serius dan berkeadilan. Demer menilai ketimpangan alokasi anggaran telah menimbulkan ironi sosial yang mencederai rasa kebersamaan sebagai sesama masyarakat Bali.
“Ini ironi bagi kita orang Bali. Kita merasa bersaudara, tetapi apakah anggaran kita sudah bersaudara dengan saudara-saudara kita yang hidup dalam kemiskinan di Bali?” katanya.
Ia juga mencontohkan kondisi di pelosok daerah, di mana masyarakat yang benar-benar sakit kesulitan mendapatkan ambulans dan biaya pengobatan, sementara di tempat lain anggaran justru digunakan untuk hal-hal yang tidak mendesak.
“Yang sakit ini yang harus ditolong, bukan yang sekadar menunggu. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ini persoalan serius yang harus kita perbaiki bersama,” tegasnya. (Ketut Winata/balipost)






