Sejumlah wisatawan mancanegara berada di kawasan Pasar Seni Ubud, Gianyar. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pembangunan pariwisata Bali yang selama ini diklaim berbasis budaya dan ekonomi kerakyatan makin jauh tujuan awalnya. Dominasi investor besar dan korporasi dinilai membuat ruang masyarakat lokal semakin terpinggirkan, terutama di daerah yang menjadi pusat pertumbuhan pariwisata.

Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, I Wayan Suardana di Denpasar menegaskan, praktik pembangunan pariwisata saat ini lebih condong pada pariwisata massal yang kehilangan identitas budaya Bali. “Pariwisata bukan untuk Bali, tetapi Bali yang untuk pariwisata. Identitas kelokalan mulai terkikis seiring modernitas tanpa batas. Tri Hita Karana hanya menjadi jargon dalam kontestasi politik,” kata Suardana, Selama (2/12).

Ia menyebut sebagai konsekuensi dari perkembangan pariwisata ini, terjadi degradasi serius pada tata ruang, tata bangunan, tata kelola, dan perilaku pelaku pariwisata. Arahnya pada eksploitasi ekonomi jangka pendek daripada memperkuat tradisi dan budaya Bali untuk pasar global.

Baca juga:  Penerbangan Dibuka 2023, Ditargetkan Ratusan Ribu Wisman China Datang

Fenomena ini juga terlihat hingga level mikro di desa-desa, yang memicu berbagai konflik sosial karena kepentingan ekonomi. Menurutnya, Bali membutuhkan regulasi tegas tentang pariwisata berbasis budaya agar tidak kehilangan daya saing.

“Kalau tidak, pada 2026 Bali tidak akan mampu bersaing di pasar pariwisata berkualitas. Pengelolaan sampah dan kemacetan saja sampai hari ini tidak ada kejelasan,” ujar Suardana.

Pengamat pariwisata yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Bali (AMPB), Gusti Kade Sutawa menilai pertumbuhan pariwisata Bali yang stabil dengan kunjungan wisatawan asing dan domestik mencapai sekitar 10 juta orang per tahun, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat.

Baca juga:  Uji Coba Bus Listrik Jadi Daya Tarik bagi Wisatawan di Bali

Menurutnya, banyak warga Bali masih mengalami kekurangan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, angka kasus bunuh diri yang tinggi disebut salah satunya dipicu faktor ekonomi.

“Banyak masyarakat tidak punya rumah layak. Saat ini justru pengusaha dan organisasi sosial yang rajin melakukan bedah rumah. Seharusnya ini menjadi program APBD, dan jika kurang bisa diajukan ke pusat,” tegas Astawa.

Ia menekankan pentingnya pemerintah memiliki data kemiskinan yang akurat untuk memastikan program tepat sasaran.

Kendati menghadapi berbagai masalah struktural, Sutawa menilai prospek pariwisata 2026 masih positif dengan kecenderungan peningkatan wisatawan mancanegara. Namun, ia menekankan sejumlah tantangan yang wajib segera dibenahi pemerintah daerah, termasuk peningkatan kualitas sarana dan prasarana pariwisata, perbaikan infrastruktur, serta peningkatan kualitas layanan.

Baca juga:  Kondisi Bali di Triwulan III, Inflasi di Atas Nasional

“Pariwisata Bali tumbuh, tapi kalau akar masalah sosial dan lingkungan tidak ditangani, pertumbuhan itu tidak akan berkelanjutan,” ujar Sutawa.

Pengamat sepakat bahwa Bali membutuhkan pendekatan baru yang lebih terarah dan konsisten pada prinsip pariwisata budaya berbasis masyarakat, guna mengembalikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian budaya, dan kualitas hidup masyarakat lokal.

Pembangunan pariwisata ke depan, menurut mereka, harus menempatkan masyarakat lokal sebagai pusat ekosistem, bukan sekadar penonton dari geliat bisnis yang dikuasai pemodal besar. (Suardika/bisnisbali)

BAGIKAN