
DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena dana pemerintah daerah (Pemda) yang masih banyak mengendap di perbankan mendapat perhatian kalangan pengamat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara saat dihubungi menilai praktik ini sudah menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan dan berpotensi menghambat perputaran ekonomi daerah.
Menurut Bhima, ada dua alasan utama mengapa dana Pemda kerap mengendap di bank. “Pertama, ada indikasi permainan bunga deposito oleh oknum Pemda. Semakin besar dana yang diparkir, semakin tinggi rente bunganya. Ini persoalan lama tapi tidak pernah diselesaikan,” ujarnya Rabu (22/10).
Alasan kedua, lanjut Bhima, adalah kekhawatiran pemerintah daerah terhadap efisiensi anggaran menjelang tahun depan. “Pemda sebagian khawatir soal berlanjutnya efisiensi anggaran, apalagi tahun 2026 akan ada pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar 20 persen. Mereka menahan dana karena takut kekurangan APBD tahun depan,” jelasnya.
Bhima menegaskan, jika praktik parkir dana ini terus berlanjut, dampaknya bisa fatal bagi ekonomi lokal. “Ekonomi daerah bisa macet, pengangguran meningkat karena hasil pajak tidak berputar kembali ke masyarakat,” ujarnya.
Meski begitu, Bhima menilai situasi ini, Pemda menghadapi dilema antara menjaga likuiditas anggaran dan mendorong realisasi belanja. “Tidak bisa menyalahkan Pemda sepenuhnya, karena mereka bereaksi terhadap kebijakan efisiensi dari pusat. Pemerintah pusat juga jangan asal memangkas TKD tanpa melihat kesiapan daerah,” tambahnya.
Ia mendorong agar Pemda lebih fokus dalam perencanaan sejak awal tahun agar realisasi belanja tidak menumpuk di akhir. “Belanja daerah harus lebih terencana, tidak boleh lagi baru dikebut di dua bulan terakhir,” tegas Bhima.
Sementara itu, Kepala Kanwil DJPb Provinsi Bali, Muhamad Mufti Arkan menilai perlu penelusuran mendalam terkait asal dana yang mengendap di perbankan. “Harus diteliti dan ditelusuri dulu dana tersebut berasal dari mana. Bisa dari APBN yang lebih atau belum tersalur, bisa juga dari PAD yang belum terpakai, atau bahkan dari SILPA,” jelasnya.
Mufti menambahkan, fenomena ini juga bisa terjadi karena last mile problem, yaitu menumpuknya program dan kegiatan di akhir tahun anggaran. “Kemungkinannya banyak, tergantung kondisi masing-masing daerah. Pemda yang bersangkutan tentu lebih memahami sumber dana tersebut,” pungkasnya. (Suardika/bisnisbali)




