
TABANAN, BALIPOST.com – Di tengah maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan nonpertanian, eksistensi lembaga subak di Kabupaten Tabanan masih bisa bertahan.
Berdasarkan data Dinas Kebudayaan (Disbud) Tabanan, sampai saat ini tercatat ada 233 lembaga subak yang masih aktif dan diakui secara kelembagaan di Tabanan.
Kepala Disbud Tabanan, I Made Subagia, menegaskan, masifnya alih fungsi lahan tidak otomatis menghilangkan eksistensi lembaga subak. Ia menyebut, peran subak tidak hanya terbatas pada pengelolaan lahan pertanian, tetapi juga menyangkut nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual yang diwariskan turun-temurun.
“Jumlah lembaga subak sawah mencapai 233 kelembagaan. Ini akan terus kami kawal agar tidak mengalami pengurangan,” tegasnya, Selasa (15/10).
Menurut Subagia, Dinas Kebudayaan memiliki tanggung jawab dalam melakukan pembinaan kelembagaan dan penguatan awig-awig subak. Setiap tahun, sekitar 20 awig-awig baru difasilitasi penyusunannya sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai Tri Hita Karana, terutama pada aspek pawongan (hubungan antaranggota) dan parhyangan (hubungan spiritual).
“Optimalisasi dari sisi palemahan atau pengelolaan lahan memang menjadi ranah Dinas Pertanian, namun kami tetap bersinergi dalam pelaksanaannya,” tambahnya.
Subagia juga menjelaskan, ketika terjadi alih fungsi lahan, lembaga subak tidak langsung dihapus dari daftar kelembagaan. Pihaknya akan melakukan pemetaan ulang untuk memastikan apakah masih ada unsur eksisting seperti Pura Subak atau sistem irigasi yang tersisa.
“Kami harus menunggu hasil paruman krama subak sebelum mengambil keputusan. Karena ini menyangkut penerbitan SK kelembagaan,” ujarnya.
Menariknya, bagi subak yang sudah kehilangan lahan sawah, Disbud kini mendorong transformasi kelembagaan ke bentuk subak abian atau subak kebun. Langkah ini dinilai sebagai strategi adaptif agar nilai-nilai dan sistem organisasi subak tetap hidup di tengah perubahan tata ruang.
“Seperti di wilayah Kediri, banyak terjadi alih fungsi lahan sawah. Namun krama subaknya bisa diarahkan menjadi bagian dari subak abian. Jadi lembaganya tetap eksis, hanya bentuknya yang menyesuaikan,” ungkap Subagia.
Pihaknya menegaskan, pelestarian subak bukan sekadar menjaga warisan budaya, tetapi juga menjaga kearifan lokal yang telah mengatur hubungan manusia dengan alam dan sesamanya selama berabad-abad.
“Subak bukan hanya soal tanam padi, tetapi sistem kehidupan. Maka selama semangat dan strukturnya masih ada, subak di Tabanan akan terus hidup,” pungkasnya.(Puspawati/balipost)