Umat Hindu bersembahyang di Pura Luhur Dangkahyangan Rambut Siwi, Jembrana. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali tidak hanya terkenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kekayaan tradisi dan budayanya yang begitu hidup hingga kini. Salah satu warisan budaya spiritual yang masih dijalankan dengan penuh keyakinan adalah hari raya Soma Ribek.

Rerahinan ini jatuh setiap Senin, Pon, Wuku Sinta menurut perhitungan kalender Bali. Tahun 2025, Soma Ribek jatuh pada Senin (8/9) hari ini.

Masyarakat Hindu Bali merayakan Soma Ribek bukan sekadar rutinitas keagamaan, tetapi juga sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan kepada Dewi Sri. Dewi Sri dalam keyakinan Hindu adalah manifestasi Tuhan sebagai pemberi kesuburan dan kemakmuran.

Melalui upacara sederhana di rumah maupun lumbung padi, umat Hindu mengingat kembali betapa pentingnya sumber pangan, khususnya beras, dalam kehidupan sehari-hari.

Sejumlah sumber menyebutkan, secara harfiah, kata “Soma” berarti Senin, sedangkan “Ribek” dalam bahasa Bali memiliki makna penuh atau berlimpah. Jika digabungkan, Soma Ribek berarti Senin yang penuh berkah atau penuh rejeki.

Hari ini diyakini sebagai momen yang sangat baik untuk memuja Dewi Sri agar senantiasa melimpahkan hasil bumi, khususnya padi yang menjadi makanan pokok masyarakat Bali.

Baca juga:  Bali Masuk Lima Besar Kenaikan Tertinggi Kasus COVID-19 Mingguan Nasional

Filosofi Soma Ribek mengajarkan manusia agar selalu ingat pada sumber kehidupan. Beras bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga simbol kemakmuran, keberlangsungan hidup, dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam. Dengan menjaga keberkahan beras, masyarakat Bali percaya bahwa kesejahteraan lahir batin juga akan terjaga.

Rangkaian upacara Soma Ribek biasanya dilakukan secara sederhana di rumah masing-masing. Masyarakat menyiapkan banten yang dipersembahkan di sanggah, merajan, dan lumbung padi (jineng). Persembahan ini berisi hasil bumi, bunga, dupa, serta canang sari yang ditujukan untuk memuja kebesaran Dewi Sri.

Hal yang unik dari Soma Ribek adalah adanya pantangan khusus, yakni tidak diperbolehkan menumbuk padi, menggiling beras, atau menjual hasil bumi. Larangan ini bertujuan memberikan penghormatan kepada Dewi Sri sekaligus menjadi pengingat bahwa manusia tidak boleh bersikap serakah terhadap hasil alam. Semua yang datang dari bumi adalah titipan ilahi, dan karenanya harus dijaga serta dimanfaatkan dengan bijaksana.

Baca juga:  Tradisi Sembahyang di Kuburan Semakin Lestari Saat Perayaan Pagerwesi

Selain ritual persembahyangan, banyak keluarga yang juga melakukan kegiatan makan bersama menggunakan hasil bumi, terutama nasi yang berasal dari panen sendiri. Hal ini mencerminkan rasa syukur serta kebersamaan antar anggota keluarga.

Di tengah kehidupan modern yang semakin praktis, perayaan Soma Ribek tetap relevan.

Meskipun sebagian masyarakat kini tidak lagi bergantung langsung pada hasil sawah, pesan filosofis yang terkandung dalam Soma Ribek tetap bisa diterapkan:

  • Menghargai pangan: Tradisi ini mengingatkan masyarakat agar tidak menyia-nyiakan makanan, terutama beras. Memboroskan makanan sama saja dengan tidak menghargai jerih payah petani dan berkah alam.
  • Keselarasan dengan alam: Soma Ribek mengajarkan pentingnya menjaga ekosistem pertanian. Tanah, air, dan tumbuhan harus dijaga keseimbangannya agar hasil panen tetap berlimpah.
  • Kebersamaan keluarga: Melalui tradisi sembahyang dan makan bersama, masyarakat Bali menegaskan kembali pentingnya menjaga keharmonisan dalam keluarga.

Secara spiritual, Soma Ribek menanamkan kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Pangan yang diperoleh dari bumi bukanlah semata hasil kerja manusia, tetapi juga anugerah dari kekuatan ilahi. Dengan demikian, umat diajak untuk selalu rendah hati, penuh rasa syukur, dan tidak serakah dalam memanfaatkan hasil alam.

Baca juga:  Ceriakan Hari Selama di Rumah, Lima Warna Ini Bisa Kamu Pilih untuk Dinding

Soma Ribek juga mengingatkan manusia akan Tri Hita Karana, yakni tiga penyebab kebahagiaan. Pertama, hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan) melalui persembahyangan kepada Dewi Sri. Kedua, hubungan manusia dengan sesama (pawongan) melalui kebersamaan keluarga dan masyarakat. Ketiga, hubungan manusia dengan alam (palemahan) melalui penghormatan terhadap hasil bumi.

Jadi, rahinan Soma Ribek adalah wujud nyata bagaimana budaya Bali memadukan unsur spiritual, sosial, dan ekologis menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam setiap butir beras yang dipersembahkan, terdapat doa agar kehidupan selalu berkecukupan dan seimbang.

Dengan tetap melestarikan tradisi ini, masyarakat Bali tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menyampaikan pesan universal menghargai alam dan mensyukuri setiap karunia Ida Sang Hyang Widhi. (Dedy Sumarthana/balipost)

BAGIKAN