
DENPASAR, BALIPOST.com – Sampah di Bali hanya bisa diatasi bila semua pihak bergerak bersama. Tak hanya pelaku usaha, masyarakat juga harus memilah sampah dari rumah dan pemerintah menyediakan infrastruktur. Demikian pandangan sejumlah aktivis lingkungan terhadap persoalan sampah di Bali.
Ketua Yayasan Bali Wastu Lestari (YBWL) yang juga penggiat Bank Sampah, Ni Wayan Riawati mengatakan perlunya membangun kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah sendiri. YBWL, katanya, selama ini telah memulai gerakan dari kesadaran masyarakat.
“Ini perlu dilakukan meski saat ini Bali dari sisi pemerintah sudah memiliki banyak sekali aturan baik dari pusat hingga daerah. Namun, dalam implementasinya kan masih belum konsisten dan kontinyu,” ungkapnya.
Melalui gerakan yang dilakukan YBWL, ingin membangun kesadaran masyarakat yang masih rendah, persepsi penanganan sampah yang hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, dan TPA yang mulai menggunung.
Saat ini YBWL mulai membangun kesadaran perilaku tanggung jawab, sampahku tanggung jawabku. Sejak 2010 Yayasan Bali Wastu Lestari telah memberi layanan sosialisasi, edukasi, pendampingan pemberdayaan dalam pengelolaan sampah di Bali, dengan jaringan komunitas bank sampah yang tersebar di 9 Kota/Kabupaten di Bali melalui konsep sosial gotong royong.
Pada 2025, YBWL bekerja sama dengan Bank Sampah Induk membangun transportasi Gerakan sosial Bank Sampah menjadi social enterprise untuk memperkuat manajemen pengelolaan sampah secara konsisten dan kontinyu.
“Sampai saat ini, jumlah unit bank sampah di Bali yang aktif terus meningkat mencapai lebih dari 651 unit. Aktivitas ini juga telah memberikan manfaat ekonomi, dengan penyerapan sampah plastik hingga 4.500 ton per tahun dengan nilai ekonomi mencapai Rp13 miliar,” katanya.
Ketua TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah dengan Konsep Reduce, Reuse, Recycle) Desa Adat Seminyak, I Komang Rudita Hartawan menambahkan dalam menghadapi permasalahan sampah di Bali diperlukan juga keseriusan pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur.
Rudita menyebut, sampah plastik, terutama sampah botol air minum kemasan memiliki nilai ekonomi yang menyumbang pada ekonomi rakyat dan menampung banyak tenaga kerja.
Ia pun menekankan perlunya membangun pabrik pengelolaan sampah residu dan bukan hanya memperbanyak TPA (tempat pemrosesan akhir sampah). “Saya yakin Bali mampu membangun pabrik itu. Apalagi pihak pemda telah menerapkan distribusi pungutan PWA (pungutan wisata asing) yang dananya diperuntukan untuk lingkungan dan budaya,” ujarnya
Dia mencontohkan keberhasilan Singapura mengelola sampah di negaranya karena memiliki lima pabrik pengolahan sampah residu. Menurutnya, Bali pun harus punya itu.
Karena, lanjutnya, sampah utamanya plastik sekali pakai itu memiliki nilai ekonomi. “PET atau botol plastik sekali pakai saja bisa dijual seharga Rp4.500 hingga Rp 7.500 per kilonya setelah di press. Ini peluang yang sangat menarik. Jadi, sampah tidak bisa lantas diremehkan,” ucapnya.
Dia juga mengutarakan bahwa TPS3R Desa Adat Seminyak, sejak dikelola 2004 lalu, kini telah memiliki 54 karyawan, 26 armada dan sederet mesin pemilah hingga pengepresan PET, yang mampu memanfaatkan limbah jadi peluang ekonomi.
Namun, dia juga mengatakan bahwa pengelolaan sampah di hilir saja itu tidak cukup. Menurutnya, regulasinya juga harus diperkuat, sanksi perlu ditegakkan, dan edukasi publik perlu digencarkan.
“Jadi, larangan kemasan plastik air minum di bawah 1 liter saja kurang efektif jika tidak dibarengi edukasi pemilahan dan tata kelola yang jelas dari sumbernya. Artinya, pemerintah dan swasta harus bergerak bersama,” katanya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Bali, Budiman Antonius Sinaga menyayangkan kurang dilibatkannya pelaku usaha dalam setiap kebijakan yang dibuat Pemda Bali. Ia mencontohkan terkait Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. “Aprindo menyarankan agar dunia usaha dilibatkan setiap ada perubahan kebijakan, sehingga dapat memberikan saran dan juga masukan,” kata Budiman. (Ketut Winata/balipost)