DENPASAR, BALIPOST.com – Salah satu janji politik yang dilontarkan kedua pasangan calon dalam Pilgub Bali 2018 adalah menolak reklamasi Teluk Benoa. Namun, masyarakat yang berada di barisan tolak reklamasi sejak lima tahun terakhir tak lagi mengharapkan janji.

Mereka butuh tindakan nyata. Apalagi, kedua pasangan calon diusung oleh partai politik yang memiliki wakil di DPRD Bali.

“Kalau kedua pasangan calon itu serius, maka setidak-tidaknya lahir keputusan di DPRD, hasil paripurna yang menyatakan penolakan reklamasi,” ujar Koordinator Divisi Politik ForBALI, Suriadi Darmoko.

Menurut Suriadi, janji menolak reklamasi saat terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur tentu tidak adil untuk masyarakat dan desa adat yang menolak reklamasi sejak 2013. Kalau memang kandidat memiliki komitmen demikian, partai pengusungnya juga harus memiliki komitmen yang sama.

Setidaknya, DPRD Bali yang terdiri dari orang-orang partai bisa membuat keputusan tegas. Seperti isi salah satu tuntutan ForBALI dan Pasubayan Desa Adat/Pakraman Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Yakni, meminta DPRD Bali merekomendasikan kepada gubernur untuk bersurat kepada presiden serta merekomendasikan kepada presiden untuk menolak reklamasi Teluk Benoa dan membatalkan Perpres No.45 Tahun 2011.

Baca juga:  Hari Ini Pulang, Belasan "Suspect" MSS di RSUD Mangusada

Direktur Eksekutif Walhi Bali, I Made Juli Untung Pratama mengatakan, kedua pasangan calon tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Bisa dilihat dari tidak adanya keinginan pasangan calon untuk membuat studi terkait daya tampung dan daya dukung Bali.

“Kedua pasangan calon hanya memprioritaskan proyek-proyek dalam janji-janjinya tanpa memperhatikan kualitas lingkungan hidup di Bali,” ujarnya.

I Made Krisna Dinata dari Frontier Bali melihat semua kandidat umumnya menjanjikan pembangunan infrastruktur. Namun, perlu juga bagi para kandidat untuk kembali menilik ke belakang. Misalnya mengatasi dampak-dampak yang ditimbulkan pariwisata seperti sampah, kemacetan, sampai masalah krisis lingkungan dan krisis air.

Baca juga:  Pasca Tahanan Kabur di Denpasar, Pintu Keluar di Gilimanuk Diperketat

Basma Redana dari BEM PM Universitas Udayana mengatakan, satu bukti lebih berarti daripada seribu janji yang dilontarkan kandidat. Mahasiswa siap mengawal janji-janji para kandidat agar kelak benar-benar ditepati untuk masyarakat. Sementara itu, Arik Partayanti dari BEM Unhi mengatakan, ada baiknya kandidat yang nanti terpilih menjadi pemimpin untuk terbuka kepada masyarakat khususnya generasi muda.

Terutama bila ada kendala yang dihadapi untuk merealisasikan janji tersebut. “Misalnya menjanjikan A, tapi tidak tercapai. Mungkin ada kendala, itu perlu keterbukaan apapun nanti yang terjadi untuk memberikan pencerahan pada kami agar kami tidak berburuk sangka karena hanya mendengar kisi-kisi dari orang lain,” katanya.

Ketua HNSI Bali, I Nengah Manumudhita mengatakan, pesisir telah menjadi ikon pembangunan pariwisata sejak pariwisata itu dikembangkan. Di situ ada masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan atau bendega sesuai kearifan lokal Bali. Saat ini bendega atas perjuangan HNSI Bali sudah memiliki perda sehingga eksistensi masyarakat pesisir bisa diakui secara umum.

Baca juga:  Jatuh di Wisata Ayunan, WNA Prancis Meninggal

“Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya. Oleh karena itu, budaya ini harus dikuatkan. Baik yang ada di sawah, di desa maupun di pesisir. Kalau sudah kuat, niscaya untuk membangun pariwisata yang sustainable berbasis agama dan budaya Bali bisa kita wujudkan,” ujarnya.

Konsultan, I Gde Made Sadguna mengatakan, permasalahan Bali yang sangat mendasar berkaitan dengan Tri Hita Karana. Sebagai contoh palemahan. Tanah Bali tidak sekedar mengalami masalah alih fungsi lahan. Tapi juga alih kepemilikan. Janji-janji para kandidat pada intinya harus mampu menjawab permasalahan Bali tersebut. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *