
DENPASAR, BALIPOST.com – Kolaborasi lintas budaya mempertemukan mitos klasik Bali dan Yunani dalam panggung megah Bali World Culture Celebration (BWCC) serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII Tahun 2025, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (12/7).
Pertunjukan berjudul “Watugunung//Oedipe” ini bukan sekadar karya seni, melainkan peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Prancis.
Disutradarai seniman teater asal Prancis, Gabriel Laufer, dan dikoreografi oleh I Wayan Budiarsa, pementasan ini menjadi bentuk penghormatan terhadap dua kebudayaan yang dipertemukan melalui medium Wayang Gambuh.
Diperkuat oleh Sanggar Satriya Lelana dari Desa Batuan, Gianyar, garapan ini menghadirkan kisah Watugunung, tokoh mitologis Bali, yang secara tak sengaja menikahi ibunya sendiri. Sebuah narasi yang sejalan dengan kisah tragis Oedipus dalam karya Sophocles.
“Watugunung dan Oedipus adalah dua tokoh dari dunia berbeda, tapi punya takdir yang mirip. Panggung ini bukan untuk menilai mereka, tapi menyampaikan pesan universal tentang kesadaran, kejujuran, dan anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujar Laufer.
Uniknya, pertunjukan ini menggabungkan gamelan Pegambuhan, gender wayang, dan unsur naratif-deklamasi khas Gambuh. Tradisi ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO sejak 2015. Laufer menyebut, pemilihan musik ini bukan sekadar pelengkap, tetapi juga bentuk pelestarian budaya Bali yang hampir punah.
Budiarsa, sebagai koreografer, mengungkapkan bahwa garapan ini dipersiapkan selama dua bulan dan melibatkan 21 seniman tari dan tabuh. Ia menerjemahkan ide Laufer ke dalam tiga babak, menggabungkan referensi dari wayang gambuh dan tafsir kontemporer. Salah satu adegan menarik adalah saat Watugunung “bermimpi menjadi Oedipus”, disampaikan lewat transisi mimpi dan narasi simbolik yang kuat.
Di tengah pementasan, terselip teka-teki yang harus dijawab Oedipus: “Makhluk apa yang pagi berkaki empat, siang berkaki dua, dan sore berkaki tiga?” serta “Apa itu kakak dan adik yang tak pernah terputus?”—simbol pencarian identitas dan kebijaksanaan dalam hidup manusia.
Pertunjukan ini bukan hanya menyentuh nalar, tapi juga menggugah rasa. Dalam pesan akhirnya, Laufer menekankan bahwa kebudayaan adalah jembatan paling damai dalam hubungan antarbangsa. Melalui panggung ini, Bali dan Prancis tidak hanya saling mengenal, tetapi juga saling memahami. (Adv/balipost)