
JAKARTA, BALIPOST.com – Delapan persen pemuda usia produktif (16-30 tahun) di Indonesia masih menganggur, sehingga dibutuhkan satu solusi, salah satunya melalui ekonomi digital. Demikian dinyatakan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
“Kalau kita lihat dari pekerjaan, pemuda itu sebagian besar bekerja, tetapi masih ada hampir delapan persen yang menganggur, ini yang menjadi sasaran kita, karena delapan persen itu cukup banyak, maka inilah mengapa kita harus bekerja bersama-sama,” kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (19/6).
Ia menyebutkan, peluang yang dapat dihasilkan dari ekonomi digital jika dievaluasi, yakni sekitar 145 miliar dolar AS pada tahun 2025. Oleh karena itu, dengan teknologi digital yang berkembang semakin pesat, ekonomi digital bisa dioptimalkan.
Namun, Woro menekankan pentingnya peningkatan keterampilan sumber daya manusia untuk menghadapi persaingan di era ekonomi digital, yang juga perlu diiringi dengan pembangunan karakter generasi muda agar tidak menjadi generasi stroberi.
“Keterampilan-keterampilan itu juga perlu diberikan untuk bisa menjadikan mereka (generasi muda) sebagai modal dalam membantu ekonomi, juga memastikan dari sisi karakter, karena karakter anak-anak muda ini menjadi satu hal yang penting. Kita selalu mengatakan bahwa anak muda kita adalah generasi stroberi, kelihatannya bagus di luar, tetapi di tengah langsung lembek, ini yang selalu kita ingatkan, untuk membangun karakter pemuda yang tangguh dan tidak mudah putus asa,” paparnya.
Woro menyebutkan bahwa penggunaan internet saat ini terus meningkat, dengan penetrasi sebesar 73,7 persen dan peningkatan pertumbuhan 16 persen, yang dapat menjadi peluang bagi para pekerja muda.
Ia menyoroti masih adanya kesenjangan atau gap antara pekerja perempuan dan laki-laki di Indonesia, dimana saat ini persentase perempuan yang berada dalam posisi tidak sedang menempuh pendidikan, bekerja, atau mendapatkan pelatihan (Not in Education, Employment, or Training atau NEET) masih tinggi, yakni 24 persen.
Hal tersebut menjadi salah satu faktor utama penyebab rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan di Indonesia, karena hingga saat ini, masih terdapat pelanggaran hak-hak pekerja perempuan di tempat kerja.
“Misalnya, gaji yang tidak setara, padahal mereka ada di posisi yang sama, ini yang menyebabkan rendahnya TPAK perempuan di dunia kerja,” ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, 1 dari 5 penduduk Indonesia adalah pemuda, atau sekitar 64,22 juta. Persentase penduduk usia 16-30 tahun (pemuda) sebesar 22,99 persen. Lebih dari separuh pemuda tersebut (56,98 persen) saat ini berstatus sebagai pekerja, namun, 7,95 persen diantaranya masih berstatus pengangguran. (Kmb/Balipost)