Bade untuk palebon Cok Budi Suryawan berada di kawasan Ubud, Gianyar. Sebanyak 7 banjar akan dilibatkan mengusung bade dan lembu saat palebon, Senin (24/7/2023). (BP/kup)

GIANYAR, BALIPOST.com – Upacara palebon di Bali bukan sekadar ritual kremasi, tapi juga cerminan nilai budaya, sejarah keluarga, serta status sosial. Khususnya di Gianyar, tradisi ini terlihat sangat dipengaruhi oleh eksistensi keluarga puri yang konsisten melakukan prosesi sakral ini secara megah, memakai bade tinggi, lembu simbolis, serta dukungan ribuan warga sekitar.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut rangkaian enam palebon yang mencuri perhatian publik dalam lima tahun terakhir:

1. Anak Agung Oka Susmini (26 Februari 2022)

Prosesi ini menonjol karena penggunaan lembu putih, simbol dari penyucian (meinten) yang dilakukan oleh almarhumah sebelumnya saat penobatan suaminya. Bade setinggi 24 meter dipindahkan melalui jalan Puri, disaksikan ribuan warga dan didukung penuh oleh banjar adat setempat.

Palebon ini menegaskan bahwa tradisi tak soal seberapa tinggi bade, tapi soal kesakralan simbol dan partisipasi warga dalam merayakan kehidupan serta mengenang jasa tokoh adat.

2. Ida Anak Agung Istri Mas (17 Juli 2023)

Permaisuri terakhir Raja Gianyar ini dipuja melalui upacara yang dinamai “Madyaning Utama”, tingkatan khusus yang sengaja dipilih agar tidak melebihi tingkatan sang raja. Prosesi melibatkan arak-arakan dari Puri ke setra, lalu dilanjutkan dengan ritual penyucian di Pantai Masceti.

Baca juga:  800 Judul Koleksi Perpustakaan Provinsi di Digitalisasi

Menariknya, tidak hanya satu puri yang hadir, 16 puri dari berbagai daerah Bali turut berpartisipasi. Ini menegaskan jaringan kebangsawanan yang masih hidup dan aktif menjaga nilai adat lintas wilayah.

3. Tjokorda Gede Budi Suryawan (24 Juli 2023)

Sebagai mantan Bupati dua periode, CBS menerima penghormatan ganda, sebagai bangsawan dan figur publik. Semangat kehormatan dicerminkan ketika jenazah diserahkan keluarga kepada pemerintah daerah, kemudian dibimbing oleh Wakil Gubernur Bali, menegaskan perpaduan adat dan bentuk penghormatan resmi negara.

Ratusan krama adat Ubud ikut mengusung bade tumpang sembilan dan lembu kremasi, menciptakan momen yang sarat makna. Hadirnya tokoh pemerintahan memperkuat makna palebon sebagai penghargaan atas jasa almarhum, bukan sekadar tradisi keluarga.

4. Tjokorda Bagus Santaka (14 April 2024)

Baca juga:  Amankan Natal, Polres Gianyar Kerahkan Seribuan Personil

Prosesi dirancang sangat megah dengan penggunaan bade tumpang sembilan setinggi 25 meter, menandakan derajat kebangsawanan tinggi almarhum. Selain itu, lembu kremasi dan bade kremasi yang digunakan berwarna ungu, sesuai tema spiritual yang dominan pada acara tersebut.

Lebih dari 4.000 warga dari sebelas banjar adat Ubud turut meramaikan upacara ini. Kolaborasi ini terlihat jelas dari pembuatan bade hingga prosesi pengirikan, yang semuanya berjalan secara gotong royong, mencerminkan nilai sambung rasa dan kebersamaan.

5. Tjokorda Rai Dharmawati (10 Juni 2024)

Bade yang digunakan dalam palebon ini dirancang oleh seorang akademisi ternama, yaitu Prof. Cok De dari Universitas Udayana, sementara lembu kremasi dibuat oleh Cok Wah. Kombinasi tokoh adat dan akademisi dalam acara adat menunjukkan bagaimana tradisi bisa menyatu dengan pemikiran modern.

Prosesi ini melibatkan tujuh banjar adat Ubud yang bekerja bersama-sama untuk menyukseskan acara. Kehadiran masyarakat secara konsisten menunjukkan betapa palebon tetap menjadi ritual bersama, bukan hanya urusan internal keluarga puri.

Baca juga:  Tuai Pro Kontra, Pendaki Bawa Sepeda ke Puncak Gunung Agung

6. Anak Agung Gde Raka Semara Putra (13 Juni 2025)

Puncak upacara palebon untuk Anak Agung Gde Raka Semara Putra, putra tunggal dari mantan Bupati Gianyar A.A. Gde Agung Berata, digelar meriah dengan iringan bade tumpang sembilan dan lembu cemeng. Kehadiran ribuan warga Gianyar serta sameton dari 16 puri yang tergabung dalam garis Warih Ida Bhatara Manggis Kuning menandai betapa besar penghormatan yang diberikan. Prosesi berlangsung sakral dan penuh simbol adat, mencerminkan warisan leluhur yang dijunjung tinggi.

Setibanya di setra, jenazah diperabukan dalam lembu hitam sebagai simbol pelepasan roh secara agung. Seluruh rangkaian dilanjutkan dengan prosesi nganyut di Pantai Masceti, Blahbatuh. Tak hanya melibatkan keluarga besar Puri Agung Gianyar, pelaksanaan upacara juga didukung aktif oleh banjar-banjar adat sekitar seperti Sengguan Kawan, Pasdalem Kaja Kangin, hingga Desa Adat Samplangan, mewujudkan semangat gotong royong dalam menjaga keluhuran adat Bali. (Andin Lyra/balipost)

BAGIKAN