Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Mei 2025 di Jakarta, Senin (2/6/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Dampak perekonomian global terhadap kinerja debitur dan sektor jasa keuangan (SJK) Indonesia perlu untuk terus dicermati, sehingga lembaga jasa keuangan diminta melakukan asesmen secara komprehensif.

Dalam hal ini, OJK mengingatkan adanya pertumbuhan ekonomi global yang melambat, tingkat suku bunga yang masih relatif tinggi, serta proses perundingan dagang AS dengan beberapa negara utama mitra perdagangannya yang masih berjalan.

“Lembaga jasa keuangan diminta untuk terus melakukan asesmen komprehensif agar ke depan mampu mengambil langkah mitigasi yang diperlukan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Mei 2025 di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (2/6).

Di sisi lain, imbuh Mahendra, OJK terus menyempurnakan kebijakan untuk memperdalam pasar keuangan bersinergi dengan kementerian/lembaga dan stakeholders terkait dalam rangka meningkatkan daya saing dan menjaga kinerja sektor jasa keuangan untuk terus tumbuh berkelanjutan.

Baca juga:  Mabes Polri Teliti Revitalisasi Peran Bhabinkamtibmas

Adapun hasil Rapat Dewan Komisioner OJK Bulan Mei 2025 menilai bahwa stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga di tengah dinamika tensi perdagangan dan geopolitik global.

Mahendra menyampaikan, dinamika perdagangan internasional menunjukkan perkembangan setelah terjadinya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Inggris pada 8 Mei 2025 yang merupakan kesepakatan permanen pertama AS dengan negara-negara lain pascapenundaan penerapan resiprokal tarif.

Lebih lanjut, kesepakatan dagang sementara antara AS dan Tiongkok pada 12 Mei 2025 yang berlaku untuk 90 hari turut menurunkan tensi perdagangan global.

Pelaku pasar menyambut baik kesepakatan tersebut sehingga mendorong penguatan pasar keuangan global diikuti juga oleh penurunan volatilitas pasar keuangan dan capital inflow ke pasar negara-negara berkembang.

Mahendra menambahkan, ketegangan geopolitik meningkat di beberapa kawasan. Kendati begitu, dampaknya terlihat dapat terlokalisir sehingga imbasnya ke pasar keuangan global masih terbatas.

Baca juga:  Badung Tiadakan Stimulus UKM di Objek Wisata

Rilis pertumbuhan ekonomi global pada kuartal pertama pada 2025 ini menunjukkan pelemahan diikuti oleh berlanjutnya penurunan inflasi yang menunjukkan pelemahan permintaan global.

Menyikapi hal itu, kebijakan moneter global semakin akomodatif dengan beberapa bank sentral menurunkan suku bunga, menyuntikkan likuiditas ke pasar, atau menurunkan reserve requirement. Kebijakan fiskal global juga cenderung ekspansif, meski ruang fiskal terbatas.

Di tengah perkembangan itu, The Fed atau bank sentral AS menyiratkan kebijakan Fed Funds Rate (FFR) higher for longer yang menunggu kepastian dari kebijakan tarif dan dampaknya terhadap beberapa indikator perekonomian.

Hal ini mendorong pasar menurunkan estimasi penurunan FFR menjadi dua kali di tahun 2025, dari sebelumnya tiga sampai empat kali penurunan, dengan penurunan pertama diperkirakan mundur ke bulan September.

Pasar juga terus mencermati rencana penerbitan Undang-Undang “One Big Beautiful Bill”yang diperkirakan akan meningkatkan defisit fiskal AS, sehingga Moody’s menurunkan rating AS. Beberapa hal tersebut mendorong pelemahan pasar obligasi dan nilai tukar dolar AS.

Baca juga:  Rendahnya Tingkat Literasi Penyabab Mudahnya Tertipu Investasi Bodong

Sementara itu, Mahendra mencatat bahwa perekonomian domestik masih menunjukkan resiliensinya di tengah tingginya dinamika global.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia positif pada kuartal pertama 2025, meskipun terlihat dengan laju yang sedikit melambat, menjadi 4,87 persen year on year (yoy). Permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga, tetap menjadi motor utama yang tumbuh sebesar 4,89 persen yoy.

Inflasi April 2025 tetap terjaga yang tercatat sebesar 1,95 persen yoy, dan masih dalam rentang target bank sentral atau Bank Indonesia.

Beberapa indikator perekonomian terkini juga masih menunjukkan resiliensi, di antaranya neraca perdagangan yang terus mencatat surplus, defisit transaksi berjalan yang menyempit menjadi 0,05 persen dari PDB dari sebelumnya 0,87 persen, serta cadangan devisa tetap stabil pada level yang tinggi. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN