
DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah pesatnya perkembangan modernisasi, Desa Adat Bayung Gede di Kecamatan Kintamani, Bangli, tetap menjaga tradisi leluhur yang unik dan penuh makna.
Salah satunya adalah tradisi penguburan ari-ari (plasenta) bayi di pohon bukak, yang dikenal dengan sebutan Setra Ari-Ari. Inilah tujuh fakta menarik tentang tradisi tersebut:
1. Satu-Satunya di Bali
Setra Ari-Ari hanya bisa ditemukan di Desa Bayung Gede. Berbeda dengan tradisi Bali pada umumnya yang mengubur ari-ari di pekarangan rumah, masyarakat di sini menggantung ari-ari bayi di pohon khusus dalam hutan adat.
2. Menggantung Ari-Ari di Pohon Bukak
Ari-ari bayi dibersihkan, lalu dibungkus dalam tempurung kelapa bersama abu dapur dan rempah-rempah. Tempurung itu diikat dan digantung di pohon bukak (Cerbera manghas), yang dipercaya mampu menyerap bau dan bersifat magis.
3. Pohon Bukak: Sakral dan Tidak Boleh Sembarangan
Pohon bukak memiliki getah lengket dan buah kuning yang tidak boleh dimakan. Karena kesakralannya, masyarakat enggan menyentuh atau menebangnya sembarangan.
4. Asal Usul dari Mitologi Lokal
Tradisi ini berasal dari kepercayaan bahwa leluhur masyarakat Bayung Gede berasal dari “tued kayu” (pangkal pohon) yang dihidupkan oleh tirta kamandalu. Oleh sebab itu, ari-ari bayi harus “dikembalikan” ke pohon sebagai simbol pengembalian pada ibu niskala.
5. Simbol Perlindungan Catur Sanak
Ari-ari adalah salah satu dari Catur Sanak, yakni empat saudara tak kasat mata bayi: yeh nyom (air ketuban), lamad (tali pusar), getih (darah), dan ari-ari. Keempat unsur ini diyakini melindungi bayi secara spiritual jika diperlakukan dengan benar.
6. Ayah Bayi Memegang Peran Penting
Ritual penggantungan dilakukan oleh ayah bayi. Selama perjalanan menuju Setra Ari-Ari, tempurung harus dipegang dengan tangan kanan, sebagai simbol harapan agar anak kelak menjadi pribadi yang baik.
7. Diakui Sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Pada tahun 2020, tradisi Ari-Ari Megantung resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini menegaskan nilai budaya tinggi yang melekat pada tradisi ini. (Pande Paron/balipost)