
Oleh I P. G. Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd
Deep learning (pembelajaran mendalam) masih menjadi diskursus hangat akhir-akhir ini. Sebagian kalangan beranggapan deep learning adalah kurikulum baru pengganti kurikulum merdeka.
Padahal deep learning sesungguhnya adalah jawaban atas tuntutan global dan nasional yang memerlukan evaluasi terhadap output pendidikan di tanah air. Salah satunya hasil PISA yang masih rendah karenankesenjangan proses pembelajaran yang belum sepenuhnya memberikan kesempatan kepada peserta didik dan guru untuk berpikir kritis, termasuk ketidakpastian global akhir-akhir ini.
Pembelajaran mendalam pada hakikatnya merupakan sebuah pendekatan yang memunculkan proses pembelajaran yang berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful) melalui olah hati (etika), olah rasa (estetika) dan olah raga (kinestetik) (Puskurjar Kemendikdasmen, 2025).
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, deep learning dapat diibaratkan seperti pembuatan video dengan efek velocity di media
sosial. Secara harfiah velocity sesungguhnya memiliki arti kecepatan, namun dalam bahasa efek visual, velocity dimaknai sebagai efek yang menampilkan video secara normal serta divariasikan dengan efek perlambatan maupun percepatan gambar/suara.
Ada beberapa kunci implementasi deep learning dalam mengajar. Hal utama, guru perlu menentukan point of view (POV) materi pembelajaran mana yang penting dan berpotensi mengasah analisis siswa. Sebagai contoh, dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam (SDA), siswa diajak tidak hanya menghapalkan jenis dan kegunaannya, namun pada tahap tertentu siswa diajak mendiskusikan, memperdebatkan, serta memberi sanggahan terhadap kasus-kasus eksploitasi SDA.
Sebagian pendidik masih melestarikan tradisi bahwa satu topik pemantik hanya untuk mengarahkan pada satu jawaban/solusi,
padahal ini tidaklah tepat. Satu topik yang diberikan justru diharapkan agar siswa mampu menggali beberapa solusi bahkan bukan tidak
mungkin malah ditemukan masalah baru, tentunya didasari atas kekuatan argumen.
Jika ini diterapkan dengan tepat, tentunya ini menjadi impact karena dapat membangun nalar kritis siswa. Penerapan ini tentu saja
memerlukan waktu. Di sinilah tantangannya.
Deep learning hanya akan bisa berjalan dengan baik, jika ada fleksibilitas waktu pembelajaran. Artinya, materi esensial harus diberikan waktu lebih. Sebagai konsekuensinya tentu harus ada pengurangan materi pembelajaran yang tidak bisa diterapkan langsung pada kehidupan dan dinamika global.
Jadi ibarat efek velocity, hal yang tidak terlalu penting cukup diketahui saja secara sekilas, namun hal-hal penting dan membutuhkan pemaknaan yang mendalam itulah yang diperlambat tempo pembelajarannya, dipertegas, dimaknai secara lebih serius dan
analitik, sehingga siswa paham secara utuh materi pembelajaran.
Tidak banyak guru mampu menerapkan pembelajaran secara analitik. Buktinya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di sekolah, banyak pembelajaran yang berkebut dengan waktu, sehingga acapkali guru merasa kekurangan waktu. Pada sisi lain kemampuan guru untuk membelajarkan secara kreatif masih belum muncul.
Padahal di media sosial berseliweran ide-ide pembelajaran kreatif. Ini
diperparah dengan proses evaluasi yang belum mendukung pembelajaran mendalam. Banyak soal evaluasi/sumatif yang diawali
dengan pertanyaaan sebutkan, jelaskan, dan ceritakan.
Jarang sekali kita lihat permasalahan yang diawali dengan kata analisislah, carilah kesalahan, bantahlah, temukanlah kesalahan dari cerita, atau prediksilah hal yang terjadi. Padahal pertanyaan seperti itulah yang membangkitkan kesadaran terhadap pembelajaran mendalam yang diharapkan membangun kemampuan berpikir kritis.
Jika dijadikan kalimat, mungkin contohnya “prediksilah hal yang terjadi jika Amerika tidak menjatuhkan bom di kota Hiroshima tahun 1945!”. Di zaman yang penuh ketidakpastian ini, guru mesti menghindari soa/permasalahan yang menuntut pada satu jawaban.
Soal-soal berbentuk pilihan ganda juga semestinya dikurangi ketika sumatif harian, karena mindset pilihan ganda menimbulkan dogma bahwa hidup adalah pilihan, padahal dalam kenyataannya hidup itu tidak selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Hidup itu adalah menjelajah dunia-dunia baru.
Penulis adalah Pengawas Sekolah Ahli Muda pada Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olah Raga Kabupaten Badung