
Oleh Ribut Lupiyanto
Kultur politik sering salah kaprah. Eksistensinya berpotensi menimbulkan masalah, namun selalu dilestarikan. Kultur politik perlu diarahkan ke hal produktif melalui revitalisasi kualitas demokrasi, khususnya di level kepemimpinan. Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, skor indeks demokrasi Indonesia (IDI) cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Jokowi.
Skor IDI mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir. Di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat empat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
Politikus terjebak oleh kultur politik yang terwariskan maupun diciptakan sendiri. Kultur kontraproduktif politik dapat menjadi kutukan jika gagal diminimalkan dan dikendalikan. Kultur politik menurut Sydney Verba merupakan konsep kepercayaan yang paling empiris. Simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan terdapat dalam sebuah situasi saat aktivitas politik dilakukan. Kultur politik yang turun-temurun dan menonjol adalah pola hubungan patronase.
Pelaku politik kerap lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari basisnya. Selanjutnya adalah warisan kultur politik yang bersifat neo-patrimonisalistik. Perilaku politik masih memperlihatkan kultur yang berkarakter patrimonial. Dinamika politik Indonesia telah meruntuhkan tesis Scott Mainwaring dan Juan J Linz yang mengatakan bahwa multipartai tidak cocok dikawinkan dengan presidensialisme (Budiman, 2014).
Multipartai di negeri ini faktanya aman terkendali. Hal ini disebabkan kultur politik yang terbangun sejak dari dulu. Kultur tersebut menolak prinsip the winner takes all atau sistem sapu bersih dan menerima pola jalan tengah, kompromi dan win-win solution melalui sistem sharing of power.
Dalam politik kontemporer, kultur tersebut masih lestari dan melahirkan kultur-kultur baru yang pragmatis. Kultur ini kontraproduktif bagi demokrasi. Pertama adalah kultur politik transaksional. Hulu lahirnya kultur ini adalah kehadiran kultur sistem koalisi yang dimaknai sharing of power. Koalisi yang dibangun selama ini cenderung pragmatis dan lebih mengesankan transaksi politik dibandingkan pembangunan politik. Misalnya pembentukan kabinet tergerus intervensi politik dari partai-partai yang “berkeringat” dalam kontestasi pemilihan presiden (Wahyu dan Purwantari, 2014).
Kedua adalah kultur politik akomodasi. Politik akomodatif merupakan jalan tengah demi merangkul kepentingan dan meredam serangan lawan. Awalnya akomodasi hanya berlaku bagi golongan sekubu. Namun, seiring dinamika politik, akomodasi semakin berkembang hingga ke kubu lawan. Akomodasi ini umumnya kasuistik. Aromanya tercium misalnya ketika pemerintah membutuhkan dukungan DPR. Kultur ini menjebak pada miskinnya independensi pemimpin.
Ketiga adalah kultur politik pencitraan. Politik citra positif mengemas realita agar bernilai politis, sedangkan politik citra negatif adalah merekayasa keadaan dengan menyembunyikan atau bersifat seakan-akan. Politik citra mulai booming sejak era Reformasi dan berkembangnya dunia informasi. Kultur ini menjebak bagi publik karena dinamika yang ada selalu kamuflase. Bagi politikus juga menjebak sebagai candu demi popularitas dan merengkuh hati publik.
Kultur politik tidak selamanya dan semuanya buruk. Beberapa kultur sejatinya baik, hanya dijalankan secara pragmatis. Stakeholder politik penting menunjukkan komitmen perbaikan melalui upaya revitalisasi. Kultur buruk mesti diputus mata rantainya, sedangkan bangunan kultur yang baik penting dikembalikan sesuai koridornya. Beberapa upaya revitalisasi penting dipertimbangkan pemimpin, politikus, dan semua rakyat.
Pertama melalui revitalisasi etika dan moralitas politik. Strategi fundamental penting berbasis pendekatan spiritual. Spiritualisme adalah sisi fundamental dan oase moralitas manusia. Aspek ini diharapkan dapat menyentuh sisi terdalam pelaku politik amoral untuk sadar dan memperbaiki dirinya. Selama ini spiritual hanya di permukaan, bahkan dijual demi citra. Spiritualisme aplikatif mesti ditegakkan dalam menjunjung moralitas politik.
Kedua, dengan pembaruan niat dan orientasi kekuasaan. Kekuasaan adalah amanat rakyat. Maxwell (2007) mengemukakan, amanat harus dibangun hari demi hari secara konsisten. Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat pernah berujar, “Semua orang mampu menanggung kesusahan, tetapi jika ingin menguji seseorang berilah dia kekuasaan karena kekuasaan itu ujian karakter”. Niat dan orientasi kekuasaan harus untuk melayani dan menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Ketiga, penting menggencarkan pendidikan politik bagi publik. Pendidikan politik minimal memiliki dua target, yaitu melek prosedural dan melek substansial. Kontinuitas menjadi kunci menjadikan publik benar-benar melek politik. Komitmen dan integritas menjadi pertaruhan atas pelaksanaan pendidikan politik sesuai relnya.
Satu per satu kultur politik yang kontraproduktif dan menjebak ke arah negatif mesti diurai dan direvitalisasi. Permasalahan pelik bangsa ini membutuhkan kebijakan yang solutif bukan sekadar politik pencitraan. Tahapan Pemilu 2024 akan mulai bergulir pada tahun 2022.
Saatnya calon pemimpin yang akan berkontestasi mempersiapkan visi misi termasuk bagaimana konstruksi kultur politik. Saatnya calon pemimpin tidak sekadar menjadikan kultur politik sebagai komoditas semata. Mestinya komitmen mambangun kultur politik mulai intenalisasi nilai hingga implementasi yang berkelanjutan.
Penulis Deputi Direktur, Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)