GIANYAR, BALIPOST.com – Mulai dikelola sejak 2010, kawasan objek Wisata Lembu Putih Desa Taro, Kecamatan Tegallalang kini sudah memelihara 56 ekor lembu putih. Selain memiliki kaitan erat dengan perjalanan Maha Rsi Markandya, hewan yang disucikan ini juga memiliki khasiat menyambuhkan berbagai penyakit.

Namun yang digunakan bukan dagingnya, melainkan susu, kotoran, kencing hingga keringat lembu tersebut. Ketua Pengelola Objek Wisata Lembu Putih, I Wayan Gede Ardika menuturkan bahwa, sebelumnya lembu putih yang disucikan oleh warga ini tergolong liar. Mereka ini hidup pada sejumlah titik di Desa Taro. “Lembu ini memang disucikan, dan sekarang kami konservasi dalam satu areal ini,” katanya.

Dulu keberadaan lembu yang berkaitan dengan perjalanan Maha Rsi Makandeya ini pun cukup memprihatinkan. Khususnya dalam memenuhi kebutuhan pakan lembu.

Apalagi areal Desa Taro yang dulunya hutan mulai beralih fungsi menjadi lahan pertanian. “Lembu ini juga dulu sering bertarung, selain itu juga yang besar saja biasanya dapat makan, sementara yang kecil tidak,” katanya.

Baca juga:  "Togog Pemaon," di Pujawali Pura Dalem Munduk Bestala

Mulai 2010, kelompok pemuda desa setempat yang peduli dengan pelestarian lingkungan melakukan pembersihan. Memasuki 2011 para pamuda juga menata potensi yang ada, seperti kawasan lembu putih yang dulunya merupakan hutan belantara ditumbuhi semak belukar. “2011 juga para pemuda menggali dan untuk membangun Monumen Siwanandini, hingga pada 2012 membuat Yayasan Lembu Putih Taro,” katanya.

Proses pembentukan yayasan ini terus digodok sepanjang 2013, sampai akhirnya pada 2014 keluar SK Yayasan serta ijin dari kementerian hukum dan HAM. Berdasarkan legalitas itu Desa Taro terus berbenah. “Kita terus berbenah seperti penataan Pura Gunung Raung sebagai warisan budaya, air terjun hingga kawasan hutan dan lembu putih,” katanya.

Baca juga:  Hati-hati Melintas, Jalan Penghubung Dua Desa Ini Ambrol

Dikatakan, areal hutan Desa Taro ini memiliki luas sekitar 30 hektare, namun khusus untuk areal konservasi ini baru digunakan 3 hektare saja. Kini di kawasan konservasi ini dipelihara 56 ekor lembu, jumlah itu dua kali lipat lebih banyak dari awal pengembangan pada 2010 hanya 20 ekor lembu.

Diungkapkan perawatan lembu ini tidak mudah, setiap hari harus disediakan pakan berupa rumput gajah. “Perawatan lembu putih ini menghabiskan biaya puluhan juta setiap bulannnya, itu juga termasuk membayar gaji 7 orang pegawai yang merawat lembu ini,” katanya.

Bagi warga Taro sendiri keberadaan lembu ini sangatlah disucikan. Lembu ini khusus digunakan saat upacara suci keagamaan.

Tidak hanya warga Taro, warga luar juga kerap meminjam lembu ini untuk prosesi upacara. “Ada biasanya yang datang dari luar, tentunya dengan prosesi upacara terlebih dahulu, dan yang paling penting lembu ini tidak boleh disembelih,” tegasnya.

Baca juga:  Pesona Taro

Dikatakan lembu ini sendiri memiliki rentang usia hingga belasan tahun. Bila ada lembu yang mati, krama Desa Adat Taro kaja ini kerap menyiapkan upacara khusus. “Ada upacaranya kalau lembu mati, dikuburnya pun masih di areal konservasi ini, ada setra khusus,” imbuhnya.

Pihaknya juga mengembangkan pupuk organik dari kotoran sapi, hingga pembuatan dupa. Kotoran, kencing, susu hingga keringat sapi ini pun kerap diminta oleh banyak kalangan masyarakat. “Banyak yang meminta kesini untuk obat, misal seperti kotaran sapi itu bisa digunakan unutk boreh, untuk yang menderita rematik,” tandasnya. (Manik Astajaya/balipost)

BAGIKAN