Wisatawan mancanegara sebelum Covid-19 menghabiskan liburan di Pantai Canggu, Badung. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penghentian pemungutan pajak hotel dan restoran (PHR) selama 6 bulan untuk meningkatkan kunjungan wisata di tengah lesunya industri pariwisata karena merebaknya wabah COVID-19, menimbulkan pro dan kontra di kalangan pemerintah daerah. Alasannya, hibah yang dijanjikan sebanyak Rp 3,3 triliun ini dikhawatirkan tidak akan mampu menutupi kehilangan pendapatan asli daerah (PAD) karena tidak dipungutnya PHR selama 6 bulan.

Dikatakan Gubernur Bali, Wayan Koster, Jumat (6/3), hibah yang akan diberikan pemerintah pusat ke 10 destinasi di Indonesia ini sudah dibicarakan mekanisme pembagiannya. Bali sendiri, lanjutnya, menawarkan skema pembagian hibah proporsional. “Prinsipnya adalah pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp 3,3 triliun. Pengalokasiannya kita akan usulkan menggunakan baseline realisasi 2019. Pajak hotel dan restoran realisasinya dari tahun 2019,” paparnya.

Baca juga:  Kurangi Emisi Karbon, BRI Gunakan Kendaraan Listrik

Ia juga mengatakan pemerintah Provinsi Bali mengajukan agar pengalokasiannya secara proporsional. Minimum sebesar Rp 1,9 triliun. “Hitungan saya seharusnya lebih dari itu,” sebutnya.

Hitungan minimum itu, disebutkan Koster diperoleh dari realisasi PHR 2019 per Kabupaten/Kota se-Bali selama 6 bulan (Maret-Agustus). Badung merupakan penghasil PHR terbesar dengan nilai Rp 1,488 triliun. Sementara itu di posisi kedua adalah Gianyar dengan nilai Rp 215,995 miliar, kemudian Denpasar Rp 169,257 miliar, selanjutnya Karangasem Rp 20,944 miliar, Buleleng Rp 20,384 miliar, dan Klungkung Rp 15,902 miliar. Kemudian ada Tabanan Rp 11,356 miliar, Jembrana Rp 2,601 miliar, dan Bangli Rp 784,022 juta. (Pramana Wijaya/Citta Maya/balipost)

Baca juga:  Indonesia Ranking Keenam Dunia Penyandang Diabetes
BAGIKAN