Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersama pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri) dan Ma'ruf Amin (kiri) serta pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) dan Sandiaga Uno (kanan) bersiap mengikuti debat pertama Pilpres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/). (BP/ant)

Debat capres, cawapres, serta calon pemimpin lainnya seperti gubernur, bupati dan sebagainya memang mengambil cara-cara Barat terutama Amerika Serikat dalam “menguji” calon pemimpin.

Dari sana akan diketahui cara serta strategi mereka dalam membangun seandainya terpilih nanti. Juga akan dipahami seberapa jauh mereka mengetahui serta menguasai permasalahan negeri mereka dan bagaimana cara menanggulanginya.

Dari sana pula akan diketahui apakah mereka benar-benar siap dengan tindakan atau apa pun nanti yang akan dilakukan. Mulai dari hal-hal mendasar sampai hal strategis. Ini penting karena apa pun itu, ini menyangkut masalah nasib negara atau daerah yang akan dipimpinnya.

Seperti dikatakan tadi, metode ini memang mencomot dari Barat dan kita sudah terbiasa dengan cara-cara berpikir, berkata, serta berbuat cara pemimpin Barat saat debat.

Baca juga:  Gen Z Harapkan Pemimpin Netral, Milenial Cenderung Pragmatis

Kecanggihan teknologi informasi telah membuat semuanya menjadi mungkin. Mungkin kita di Indonesia terkesima dengan gaya debat Barack Obama sehingga tanpa kita sadari kita menginginkan calon presiden kita seperti dia. Atau mungkin seperti Hillary Clinton. Sehingga saat debat, kita ingin para pemimpin kita berdebat seperti cara capres di Amerika Serikat atau setidaknya seperti negara Barat lainnya.

Barangkali ini harapan yang berlebihan, karena bagaimanapun kita berbeda dengan mereka. Berbeda karakter, budaya, permasalahan dan sebagainya. Sehingga ketika kemudian masyarakat Indonesia melihat debat Jokowi dan Prabowo berkomentar bahwa debat itu berlangsung kurang semarak.

Tidak gereget, tidak menguasai permasalahan, tidak trengginas, dan tidak menarik. Banyak komentar miring soal kualitas debat dialamatkan kepada kedua pasangan ini. Mungkin saja benar.

Baca juga:  Kerikil Pilgub 2018 Bernama ForBALI

Secara objektif memang tidak berlangsung menarik karena semuanya sangat normatif. Penguasaan masalah pun memang kurang sehingga narasi serta deskripsi dalam eksplanasi mereka itu tidak bernas.

Dan jangan lupa pula ada ranah yang tabu yang secara tidak tertulis disepakati oleh pemimpin kita, yakni ruang pribadi. Tidak ada yang menyerang sisi pribadi. Ini sifatnya privasi. Lain dengan debat pemimpin Barat. Mereka menyerang dengan sengaja ke tempat ini.

Ini sebuah pelajaran pula. Secara umum, kita mesti membenahi cara berpikir anak-anak sekolah agar lebih analitis dan argumentatif. Mereka dibiasakan berkata serta bepikir secara ilmiah. Kemampuan diskusi yang sehat pun mesti dibudayakan dari awal. Sikap serta kemampuan ilmiah mesti dipupuk juga. Jangan lupa itu. Kita mesti menumbuhkan sikap yang baik di tingkat dasar.

Baca juga:  Membentuk Kepemimpinan "Digital Minded"

Terlepas dari semua itu, sikap serta toleransi serta moral juga jangan lupa.

Debat kusir yang ngawur memang mungkin kelihatan enak. Tetapi mana substansinya? Seperti yang dilakukan oleh sebuah stasiun TV di negeri ini. Melihatnya mungkin ada kesan gereget tetapi di mana inti permasalahannya?

Kini, debat seorang calon pemimpin bukan main-main. Diperlukan sikap kenegarawanan, wawasan yang luas serta juga budaya serta moral. Tindakan yang cepat dan tepat dalam mengambil keputusan itu yang penting. Jadi, jangan terlalu berharap bahwa debat itu seperti yang berlaku di Barat.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *