Peresmian papan nama kantor menggunakan aksara Bali di Klungkung. (BP/dok)

Upaya pelestarian aksara serta bahasa Bali memang sudah sejak lama disuarakan. Beberapa pelaku serta pemerhati sudah sering menyuarakan kegalauan mereka tentang warisan nenek moyang ini. Bahkan Gubernur Bali Wayan Koster telah pula mengeluarkan peraturan gubernur tentang pemakaian aksara Bali, bahasa Bali dan busana Bali.

Kebijakan Gubernur ini memang sangat penting di tengah kemajuan zaman. Apalagi Bali dengan kehidupan pariwisatanya yang sangat intens dengan pergaulan internasional, aksara dan bahasa Bali ditakutkan akan tinggal kenangan. Demikian pula generasi mudanya sudah jarang berbahasa Bali di forum resmi. Bahasa pergaulannya pun tidak murni lagi bahasa Bali dengan dialek khas daerah masing-masing, tetapi sudah bercampur dengan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa asing.

Fenomena ini sebagai suatu keniscayaan, mesti ada akulturasi yang tidak bisa dihindarkan. Tetapi di sisi lain ada kekhawatiran, dan bahkan ketakutan bahwa aksara Bali serta bahasa Bali akan punah.

Baca juga:  Cerdas Mengelola Persaingan pada Era Digital

Sebab jumlah penutur bahasa Bali kian berkurang. Di rumah tangga utamanya di perkotaan, kini masyarakat lebih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehar-hari anak-anak mereka. Sementara upaya atau perhatian untuk mempertahankan bahasa ibu orang Bali, dari pemerintah juga sangat kurang. Terbukti pembelajaran bahasa Bali sebagai salah satu muatan lokal sempat hendak dihapus sehingga menimbulkan sejumlah reaksi.

Harus diakui, Pergub saja belumlah cukup. Perlu langkah nyata untuk mewujudukan upaya pelestarian itu. Upaya melalui lembaga formal seperti sekolah dan perguruan tinggi, sepertinya kuotanya sangatlah kurang, baik dari segi kualitas apalagi kuantitas dan intensitasnya.

Maka yang paling penting dilakukan adalah kesadaran bersama untuk melestarian bahasa Bali. Setiap orang Bali semestinya mampu berkomunikasi dengan bahasa Bali. Selain itu, keberadaan penyuluh bahasa Bali yang saat ini sudah tersebar di sejumlah kecamatan seharusnya telah mampu membangkitkan ‘’roh’’ bahasa Bali.

Baca juga:  Jangan Terjebak Revolusi Industri 4.0

Kegiatan sosialisasi, pasraman maupun lomba-lomba bahasa Bali harus gencar dilakukan. Sehingga generasi muda mempunyai pemahaman, bahwa bisa berbahasa Bali itu penting bagi orang Bali. Sebab itulah salah satu identitas ke-Bali-an orang Bali.

Kita tentu sadar bahwa bahasa Bali yang menjadi bahasa ibu kita adalah  bahasa yang menjadi modal dasar kita mempelajari peradaban dan budaya Bali. Jika kita abai melestarikan bahasa Bali, maka satu saat bahasa Bali akan krisis generasi penutur. Itu artinya Bahasa Bali hanya akan menjadi catatan sejarah. Bisa dipastikan pula, ketika bahasa Bali krisis penutur maka banyak hal tentang peradaban Bali yang di-surat dalam bahasa Bali akan makin sulit dipahami. Ini adalah masalah serius bagi Bali dalam upaya menjaga peradaban Hindu di tanah Bali.

Baca juga:  Komitmen Tulus Mengawal Budaya

Untuk itu, adalah hal wajar jika kita sebagai keluarga Bali sejak dini juga mengenalkan generasi muda kita terhadap bahasa Bali. Menjaga dan membiasakan generasi muda Bali menggunakan bahasa Bali adalah hal wajib jika kita ingin mengawal dan mewariskan budaya Bali.

Kita pahami bersama bahasa daerah sebagai salah satu kekayaan bangsa Indonesia, di tengah kemajuan teknologi informasi serta komunikasi saat ini sepertinya sedang berada di persimpangan jalan. Banyak kalangan beranggapan bahwa bahasa daerah atau bahasa ibu lambat laun akan punah atau paling tidak penggunanya akan jauh berkurang.

Bahasa adalah sarana paling efektif untuk mengekspresikan budaya dan pemilik kebudayaan itu yang akan sangat kehilangan ketika bahasanya mati. Semua masyarakat mengidentifikasi budaya memiliki keeratan bahasa sama kuatnya dengan agama.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *