Kondisi dalam hutan yang sengaja dibersihkan di kawasan Cekik saat DPRD meninjau lokasi, Rabu (17/12) siang. (BP/Olo)

NEGARA, BALIPOST.com – DPRD Jembrana menyikapi adanya dugaan pembabatan hutan di kawasan Cekik dengan turun langsung, Rabu (17/12) siang. Kawasan hutan yang masuk KPH Bali Barat berbatasan dengan Taman Nasional Bali Barat terlihat dari citra satelit sudah gundul dan membentuk pola memanjang.

Dari pengecekan yang dilakukan DPRD, kekhawatiran publik lahan yang sudah gundul berjarak sekitar 100 meter dari akses Jalan Nasional Denpasar-Gilimanuk di Hutan Cekik.

Hamparan lahan seluas kurang lebih dua hektare tampak telah bersih dari pepohonan. Kayu-kayu sisa penebangan terlihat ditumpuk di pinggiran area, menandakan adanya aktivitas pembukaan lahan yang sistematis.

Pembersihan lahan dengan membabat pohon ini diduga melibatkan investor dengan total yang akan dikelola hingga 250 hektare, di mana dua hektare di antaranya telah dibuka total (land clearing).

Baca juga:  Anggota TNI Ditemukan Meninggal di Bengkel Senjata

Tokoh masyarakat Gilimanuk, I Gede Bangun Nusantara, menyebutkan aktivitas perambahan hutan ini disinyalir telah bergulir sejak akhir tahun lalu dan berlanjut hingga April 2025. Polanya bermula dari pembukaan akses jalan raya hingga merangsek ke bagian tengah hutan.

“Jika disandingkan antara tampilan Google Maps dengan kondisi fisik di lapangan, perbedaannya sangat jelas terlihat. Pembabatan itu nyata,” ujarnya di sela-sela peninjauan.

Warga menyuarakan penolakan keras masyarakat Jembrana terhadap segala bentuk investasi yang mengorbankan kawasan konservasi. Hutan Bali Barat, menurutnya, adalah benteng terakhir atau paru-paru Pulau Dewata.

Ia mengingatkan bahwa tutupan hutan Bali kini diprediksi hanya tersisa 20 persen, jauh di bawah angka ideal 30 persen untuk keseimbangan ekologis sebuah pulau.

“ni preseden buruk. Jika investor dibiarkan merusak hutan, masyarakat awam bisa berpikir mereka juga sah melakukan hal serupa. Padahal selama ini warga ditekan untuk menjaga kelestarian, tapi investor justru sebaliknya,” tegasnya.

Baca juga:  Spesies Endemik Baru Ditemukan di TNBB

Bangun juga mendesak Pemerintah Provinsi Bali untuk kembali mengaktifkan pos pengawasan kehutanan di wilayah Cekik guna memperketat kontrol.

Senada dengan keresahan warga, Anggota Komisi II DPRD Jembrana, Ketut Suastika, usai turun ke lokasi mengaku prihatin melihat kerusakan yang membentang dari sisi selatan hingga ke tengah kawasan hutan.

Politisi yang akrab disapa Cohok ini menegaskan, meskipun kewenangan kawasan hutan ada di ranah provinsi atau pusat, dampak bencana tidak mengenal batas administratif.

“Kami menemukan kerusakan yang cukup luas. Ada aktivitas investor yang tujuannya belum jelas, namun dampaknya sudah nyata. Masyarakat Jembrana yang akan paling dulu merasakan kenaikan suhu, kekeringan, hingga ancaman banjir dan longsor,” kata Cohok.

Baca juga:  Kera di Bali Barat Banyak Berkeliaran di Jalan, Pengelola TNBB Beri Rambu Larangan Memberi Makan

Ia juga menyoroti pola perizinan melalui Online Single Submission (OSS) yang kerap dijadikan tameng oleh pengusaha tanpa permisi ke daerah.

“Jika terjadi bencana, rakyat kami yang jadi korban. Maka kami (daerah) punya hak untuk menghentikan aktivitas yang merugikan wilayah Jembrana,” tegasnya.

Anggota Komisi I DPRD Jembrana, I Kade Joni Asmara Putra, menekankan bahwa turunnya dewan ke lokasi adalah bentuk tanggung jawab moral. Vegetasi yang hilang berpotensi membuat air hujan mengalir deras tanpa kendali, memicu bencana hidrometeorologi.

“Langkah ini adalah upaya dini mencegah kerusakan meluas. Jika hutan terus dibabat dan diganti beton, dampaknya akan fatal bagi Bali secara keseluruhan, bukan hanya Jembrana,” pungkas Joni. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN