
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali yang menjadi destinasi pariwisata dunia mampu mendatangkan 6,4 juta wisatwan asing pada 2024. Jumlah inipun ditargetkan meningkat pada 2025 yakni mencapai 7 juta.
Kedatangan wisatawan asing ke Bali tentu mendorong tambahan devisa negara dari traksaksi yang dilakukan wisatawan. Di samping itu BUMN di Bali hingga imigrasi juga meraup untung dari kedatangan wisatawan asing ke Bali. Namun bagaimana masyarakat Bali dan lingkungan alamnya?
Dari tahun 1967-an Bali sebagai tujuan pariwisata dunia begitu terkenal sebagai penghasil devisa bagi negara. Namun hingga saat ini Bali hanya mendapatkan 10 persen dari pajak hotel dan restoran (PHR) yang menjadi keuntungan sebagai daerah pariwisata.
Menurut Pengamat Ekonomi Dr. Putu Suyatna, S.E., M.Si., saat diwawancarai, Jumat (10/10), devisa yang mampu disumbangkan oleh pariwisata Bali telah menyentuh Rp100 triliun. Namun Bali hanya memperoleh 10 persen dari PHR.
Nilai ini, menurutnya, sangat kecil untuk bisa menjaga alam dan budaya Bali yang menjadi nilai jual pariwisata.
UMK di Bali yang paling tinggi di Badung mencapai Rp3,5 juta per bulan sangat kecil dibandingkan dengan daerah lainnya yang UMR bisa mencapai Rp6 juta per bulan.
“Kemudian masyarakat miskin masih banyak di Bali terutama di luar Denpasar, Badung dan Gianyar. Pengangguran juga masih banyak. Banyak pula rumah-rumah masyarakatnya yang belum layak,” kata Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Warmadewa ini.
Menurutnya ini menjadi kesenjangan yang terjadi saat ini di Bali. Bali yang memiliki daya tarik mampu menghasilkan devisa tapi dinikmati bukan untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakatnya.
Hingga saat ini menjaga budaya dan lingkungan jauh lebih besar merupakan kontribusi bagi masyarakat Bali. Budaya dan tradisi di Bali terjaga hingga saat ini karena peran serta masyarakatnya.
“Termasuk lingkungannya. Kemarin terkena banjir, mana tanggung jawab pemerintah pusat. Di sisi lain tau-tau bangunan hotel/vila sudah banyak di Bali yang perizinannya dari pemerintah pusat,” terangnya.
Untuk itu dia mendorong keberadaan DPD RI dan DPR RI perwakilan Bali di pusat harus bisa memperjuangkan hal ini. Tidak melihat sisi warna partai semata dan kepentingan masyarakat terabaikan.
Hal Senada juga diungkapkan oleh Pengamat Pariwisata Prof. Dr. I Putu Anom, B.Sc., M.Par. Kegiatan pariwisata asing di Bali kata dia, juga masuk dalam ekspor jasa. Ia juga melirik perusahaan negara atau BUMN di Bali seperti Bandara Ngurah Rai termasuk migrasi yang menerima pembayaran visa dengan dananya masuk ke pusat.
Itu seharusnya bisa diberikan ke Bali untuk pembangunan pariwisata. “Kita kan ga dapat dari migrasi. Itu cukup besar dananya,” katanya.
Namun itu harus ada aturan yang mengatur, harus dibicarakan dengan pemerintah pusat Bali sebagai daerah parwisata berhak mendapatkan dana bagi hasil (DBH) atas kegiatan yang dilakukan di Bali. Ini merupakan tugas DPR RI dan DPD RI memperjuangkan DBH di pusat.
“Tugas DPD dan DPR itu bicaralah di pusat. Jangan memberikan rekomendasi saja, itu tidak ada artinya,” ujar Guru Besar Universitas Udayana ini.
Sementara itu sebelumnya, DPD Golkar Provinsi Bali Gede Sumerjaya Linggih mengatakan, pihaknya akan memperjuangkan ke pusat terkait aspirasi masyarakat yang didapat.
Salah satunya polemik minimnya dana transfer pusat ke Provinsi Bali mengingat besarnya kontribusi devisa pariwisata Bali ke pusat. (Widiastuti/bisnisbali)