Pembuatan tempat pengolahan sampah organik "teba modern" di parkiran The Westin Resort Nusa Dua, Bali yang memanfaatkan pupuk kompos. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – “Banyak jalan menuju Roma” demikian salah satu peribahasa yang lahir di era imperium Romawi untuk menunjukkan bahwa asal ada kemauan, ada banyak jalan mencapai tujuan.

Demikian pula soal masalah sampah.

Ada banyak jalan dan cara menuntaskannya asal ada kemauan.

Terlebih dengan kemajuan teknologi yang berhasil menciptakan berbagai alat pengolahan
sampah.

Salah satunya Mesin Aerobic Digester yang dapat mengubah sampah organik menjadi kompos kaya nutrisi dalam waktu satu hari.

Inovasi ini berasal dari Shiva Industries, perusahaan berbasis di Bali yang dipimpin pendiri asal Australia, Tobias Wilson.

Teknologi ini bahkan telah digunakan oleh hotel-hotel besar seperti The Westin Resort Nusa Dua. “Ini satu-satunya sistem seperti ini di Indonesia, dan dampaknya luar biasa. Kami mengubah masalah yang bau dan mahal menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk tanah, mendukung petani, dan menciptakan nilai nyata,” ujar Tobias.

Mesin Aerobic Digester buatan Shiva mampu memproses hampir semua jenis sampah organik. Mulai dari tulang, sisa makanan, hingga kulit sayuran, semua bisa diolah menjadi kompos dalam 24 jam, tanpa bau, tanpa sampah berakhir di TPA.

Baca juga:  DPRD Denpasar Harap Pemkot Tata Sanur Secara Komprehensif

Satu-satunya pengecualian hanya cangkang tiram yang membutuhkan panas ekstrem untuk terurai. Keunggulan lainnya, mesin ini dirancang tetap efisien meski listrik tidak stabil.

“Kami buat agar bisa bekerja dengan energi yang sudah ada tenaga surya, air, apapun. Jadi, mesin ini praktis digunakan di mana saja,” tambah Tobias.

Model yang ada saat ini mampu mengolah 300 kilogram hingga 5 ton sampah per hari. Bahkan, Shiva sedang mengembangkan versi kecil untuk rumah tangga dan usaha kecil.

Generasi terbaru 3.0 lebih kuat, awet, dan pintar, dengan umur pakai panjang. “Rata-rata investasi kembali dalam dua sampai tiga tahun, tapi manfaat lingkungannya langsung terasa,” jelasnya.

Jika menggunakan mesin membutuhkan modal uang yang tidak sedikit, pengelolaan secara manual sangat terbuka ditempuh. Kuncinya di manajemen pengelolaan yang konsisten.

Seperti yang dilakukan EcoBali Recycling dan Yayasan Aku Cinta Sampah (ACS).

Site Manager EcoBali Recycling, Ni Made Dwi Septiantari mengatakan setiap hari ada sebanyak 7 ton sampah anorganik yang dipilah dan dikelola oleh EcoBali. Sampah-sampah tersebut diangkut dengan 13 unit armada, yang terdiri dari 12 unit pick up dan 1 unit truk engkel.

Baca juga:  Pengaman Pantai Pura Luhur Rambut Siwi Hancur

Untuk menghasilkan jenis material sampah daur ulang yang berkualitas, jenis sampah anorganik harus dipisahkan sesuai dengan jenisnya. “Karena kami lebih ke pengelolaan sampahnya, sehingga untuk memastikan kualitasnya adalah pemilahan dari sumber. Oleh karenanya edukasi di awal sangat penting,” ujarnya.

Pengelolaan Sampah di Event

Untuk pengelolaan sampah di sebuah event yang menghadirkan ribuan orang, ACS menjadi contoh solusi.

Ketua Yayasan Aku Cinta Sampah (ACS) I Gusti Bagus Dharma mengatakan, dalam pengelolaan sampah di sumber (festival) ada pola colour coordinated yang diterapkan untuk menentukan jenis sampah yang dihasilkan masuk ke tong sampah warna apa.

“Tim waste management dibagi menjadi dua yaitu organik dan anorganik. Organik dikelola tim dan komunitas atau yayasan yang bergerak menangani sampah organik. Sedangkan kami, ACS bertugas mengelola sampah plastik, sesuatu yang bisa didaur ulang dan residu karena memang titipan yang kami laksanakan adalah jangan sampai berakhir di TPA,” ujarnya.

Baca juga:  Novotel Bali Nusa Dua Hadirkan Ragam Tawaran Paket Pertemuan dan Akomodasi

ACS membantu mengumpulkan dan menyortir plastik sehingga tidak berakhir di TPA dan memiliki nilai jual. “Residunya kita tangani dengan insinerator karena kami memiliki insinerator yang memiliki SNI, uji klinis dan juga uji emisi,” jelasnya.

Ketua Komunitas Malu Dong, Komang Suyata menilai masalah sampah saat ini menjadi kompleks karena penyelesaiannya yang terlambat. Menurutnya, masalah ini harusnya telah diurai sejak 15 tahun lalu.

Saat ini kata dia, persoalan sampah ini terlalu kompleks dari hulu ke hilir belum ada penyelesaian maksimal. “Bulan-bulan ini sampah semua dibebankan ke pemerintah, sementara
pemerintah belum siap. Seharusnya ada tempat pemrosesan sampah, TPA bukan jadi tempat penyimpanan tapi memprosesan,” terangnya.

Pihaknya ingin agar pihak terkait bisa fokus di hilir mampu menyediakan sistem pemrosesan sampah yang memadai, sehingga dia di komunitas bisa berkonsentrasi pada edukasi atau membangun kepedulian masyarakat.

Kedua hal ini harus terintegrasi sehingga ketika masyarakat di hulu sudah terbangun proses di hilir juga sudah siap. (kmb/balipost)

BAGIKAN