Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra. (BP/Antara)

JAKARTA, BALIPOST.com – Hubungan baik Indonesia dengan Brasil jangan sampai menjadi rusak dengan insiden wafatnya warga Brasil Juliana Marins di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, pada Kamis (26/6).

Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra. Ia meminta semua pihak menjaga hubungan dua negara bukan malah memperburuk.

Apalagi, kata dia, saat ini Presiden RI Prabowo Subianto sedang menghadiri pertemuan negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), sebuah kelompok ekonomi besar yang memegang peranan penting dalam perekonomian global di Brasil.

“Hubungan baik serta kerja sama bilateral antara Indonesia dan Brasil harus tetap dijaga dan tidak boleh terganggu dengan insiden kematian Juliana Marins ini,” ujar Yusril, Jumat (4/7) dikutip dari Kantor Berita Antara.

Baca juga:  20 Pasien Subvarian Omicron Sudah Sembuh

Dia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia sangat fokus dan berduka atas kematian Juliana akibat terjatuh ke dalam jurang sedalam 600 meter di tebing Gunung Rinjani.

Pemerintah, kata Yusril, menganggap insiden tersebut merupakan insiden kecelakaan yang dapat terjadi pada setiap pendaki gunung, terutama lantaran medan Rinjani yang berat dan cuaca ekstrem sedang terjadi saat itu.

Selain itu, pemerintah RI telah menjelaskan kepada publik insiden tersebut, upaya evakuasi, dan autopsi yang dilakukan di sebuah rumah sakit di Denpasar, Bali.

Ia tak menampik bahwa upaya evakuasi tidak secepat seperti yang diharapkan karena penggunaan helikopter tidak dapat dilakukan pada medan bertebing di tengah cuaca ekstrem, sebagaimana diharapkan oleh keluarga korban.

Baca juga:  Nasional Masih Catat Tambahan Kasus COVID-19 di Bawah Seribu

Pasalnya, kata Menko, berbagai tebing dan hutan tropis di Rinjani berbeda dengan tebing-tebing salju di Himalaya.

Oleh karena itu, dikatakan satu-satunya cara penyelamatan, yakni evakuasi vertikal secara manual yang dilakukan oleh Tim Pencarian dan Pertolongan (Search and Rescue/SAR) dan tim relawan, sehingga proses evakuasi berjalan tidak secepat yang diharapkan.

Yusril menuturkan bahwa hasil autopsi telah dengan jelas menunjukkan bahwa Juliana meninggal antara 15–30 menit setelah badannya terhempas di bebatuan gunung akibat kerusakan organ dan patah tulang yang parah karena terjatuh dari ketinggian 600 meter itu.

Disebutkan bahwa pihak keluarga Juliana mempertanyakan jarak waktu antara saat terjatuh dan kematian karena mereka berpikir ada keterlambatan datangnya pertolongan, sementara korban diduga masih hidup.

Baca juga:  Loreng Coklat IPDN Jadi Seragam Kepala Daerah Ikut Retret Gelombang II

“Secara medis, secepat apa pun pertolongan datang, upaya untuk menyelamatkan nyawa korban dalam insiden jatuh seperti itu hampir mustahil dapat dilakukan,” katanya menambahkan.

Bahwa kemudian keluarga korban minta dilakukan autopsi ulang di Brasil untuk memastikan waktu kematian, ia mengatakan bahwa pemerintah RI mempersilakan dan menghormati keinginan tersebut.

Secara teoritis jika metodologi autopsi dilakukan mengikuti standar forensik yang sama, sambung dia, maka hasilnya tidak akan jauh berbeda.

Yusril pun menegaskan bahwa telah berkoordinasi dengan Menko Politik dan Keamanan RI Budi Gunawan dan Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam menyikapi insiden kematian Juliana tersebut. (kmb/balipost)

BAGIKAN