TARI WALI - Komunitas Seni Clasic Banjar Tegal Jaya duta Kabupaten Badung menampilkan seni Tari Wali Sang Hyang Sengkrong pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII di Taman Budaya, Denpasar, Selasa (1/7). Pada pementasan, tari wali ini dikolaberasikan didalam seni tari dan tabuh inovatif bertemakan Kritanyataya Yadnya. (BP/Eka Adhiyasa)

MANGUPURA BALIPOST.com – Terinspirasi dari tradisi dan upacara untuk ungkapan rasa syukur atas anugerah alam yang berlangsung di Desa Adat Padang Luwih, Komunitas Seni Classic Banjar Tegal Jaya, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung menciptakan garapan seni tari dan tabuh inovatif Kritanyataya Yadnya. Pementasan kesenian ini ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya, Denpasar, Selasa (1/7).

Ketua Komunitas Seni Classic, I Nyoman Puspa Negara menuturkan, di Desa Adat Padang Luwih, Desa Dalung ada tradisi mengungkapkan terimakasih kepada Sang Pencipta atas anugerah alam-Nya. Ungkapan tersebut diwujudkan melalui rangkaian upacara dan ritual yang rutin dilaksanakan.

Baca juga:  Wisman Tak Perlu Takut Datang, Bali Aman!

“Secara garis besarnya, rangkaian prosesi upacara ini diawali dari Purnama Kedasa dan disambung dengan Purnama Kapat”, tuturnya.

Lebih lanjut dipaparkannya, pada Purnama Kedasa digelar upacara Nedunin Dewa Nini yang merupakan simbol Dewi Kesuburan. Prosesi ini diawali dengan Mepeed atau arak-arakan Dewa Nini ke Bale Agung.

Di sana diadakan persembahyangan dan Mesoda sebagai bentuk syukur. Dalam rangkaian ritual tersebut dipentaskan Tari Pendet Pemendak dan Tari Wali Sang Hyang Sengkrong. Diakhir ritual, Dewa Nini dibawa kembali ke masing-masing rumah dan distanakan di lumbung padi sebagai simbol berkah panen.

Kemudian pada Purnama Kapat digelarlah tradisi Meprani dan Mesalaran Tipat Bantal. Dalam prosesi ini, warga menghaturkan Prani dan mengikuti makan bersama atau dengan istilah megibung menikmati hasil panen secara bersama.

Baca juga:  Rumah Diterjang Albesia, Penghuninya Selamat

Prosesi dilanjutkan dengan metimpugan tipat bantal yang melibatkan dua kelompok. Tipat dan bantal sendiri merupakan simbol Purusa dan Predana.

Saling meleparkan tipat bantal tersebut dimaksudkan untuk mempertemukan Purusa dan Predana, dengan harapan memperoleh hasil seperti pertemuan antara bumi dan langit yang bisa menghasilkan kesuburan.

Usai prosesi metimpugan tipat bantal, sisa-sisa tipat bantal yang berserakan dikumpulkan dan dimanfaatkan sebagai makanan binatang peliharaan. Hal ini mencerminkan hubungan terhadap sesama makhluk hidup dan selaras dengan konsep Tri Hita Karana dalam agama Hindu, sebuah prinsip harmonisasi hubungan antara manusia, alam (tumbuhan dan hewan), dan Tuhan, yang terwujud dalam semangat Lokahita Samudaya, Harmoni Semesta Raya.

Baca juga:  PPKM Jawa-Bali Berlanjut, Level 3 Kembali Disesuaikan

“Secara filosifi, tema yang diangkat ini adalah simbolisasi dari wujud rasa syukur tulus iklas. Disamping itu juga ada semangat gotong royong yang divisualkan dalam ritual masalaran atau mesiat tipat bantal,” jelasnya.

Ia menambahkan, dalam pementasan kali ini ada sekitar 45 orang seniman muda yang terlibat, yakni 30 orang untuk penabuh dan 15 orang penari. Pertunjukan dikemas melalui alur dramatik yang menyatukan simbol-simbol visual dan audio, seperti tarian sakral serta tabuh gamelan Gong Gede Saih Pitu. (Eka Adhiyasa/balipost)

BAGIKAN