
AMLAPURA, BALIPOST.com – Maestro pembaca lontar asal Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, I Wayan Mudita Adnyana, berpulang pada Rabu (18/6).
Pria yang akrab disapa Bapa Sandang tersebut meninggal dunia karena usia yang sudah tua.
Klian Desa Adat Tenganan Pegringsingan, I Putu Yudiana, saat dikonfirmasi, pada Kamis (19/6) mengungkapkan Mudita berpulang meninggal kemarin sore di rumahnya sekitar pukul 17.00 WITA.
Yudiana mengatakan almarhum meninggal karena usia yang sudah tua. Saat ini, usianya sudah mencapai 94 tahun.
Menurut Yudiana, semasa hidupnya almarhum memang maestro pembaca lontar. Selain membaca lontar, Mudita juga dikenal sebagai penulis dan pembuat prasasti. “Semasa hidupnya memang berkecimpung di lontar, karena memang bidangnya di sana,” imbuh Yudiana.
Sementara itu, Perbekel Desa Tenganan, I Ketut Sudiastika juga membenarkan kepergian Mudita untuk selamanya. “Hari ini selepas tajeg surya (tengah hari) dipreteka selanjutnya dikubur,” katanya.
Mengutip data dari laman Kemdikbud, Mudita yang meraih Anugerah Kebudayaan 2019 untuk kategori Pelestari, memiliki darah seni yang diwariskan oleh ayahnya yang juga seorang penulis lontar. Ia tidak pernah belajar pada ayahnya karena sang ayah meninggal ketika usianya baru empat tahun.
Keahlian menulis aksara Bali di atas kertas dimilikinya dengan berguru pada I Gusti Bagus Sugriwa di Singaraja pada 1943. Setelah balik dari Singaraja, Mudita mulai mengembangkan teknik menulis daun lontarnya sendiri.
Umumnya, penulis daun lontar menggunakan meja sebagai landasan menaruh daun lontar, akan tetapi ia menggunakan bantal untuk menopang lengan kanannya yang dijadikan landasan daun lontar. Kecintaannya terhadap kitab-kitab kuno agama Hindu membuatnya ingin mengoleksi untuk dirinya sendiri.
Suatu saat ia pernah meminjam kitab Sutasoma yang tertulis di daun lontar untuk ia salin karena ingin sekali memiliki sendiri kitab tersebut. Menurutnya, kitab Sutasoma mengandung ajaran yang lembut dan baik. Selama dua tahun ia menyalin kitab setebal 120 lembar itu.
Selama 60 tahun berkarya, Mudita sudah banyak menulis ulang atau memperbaiki tulisan dari kitab-kitab agama Hindu yang tertulis di daun lontar. Beberapa di antaranya adalah kitab Baratayudha, Sutasoma, Sarascamucaya, Bhagawad Gita, Tantri, Kakawin Lubdaka, Bomantaka, dan Gatotkacasraya.
Ia juga akif dalam penulisan awig-awig desa adat, menyalin prasasti, babad, dan pemancangah. Tak hanya pandai menyalin tulisan kuno di daun lontar, I Wayan Mudita juga mengiasai seni pedalangan dan macapat.
Berkat kemampuan dan pribadinya yang ramah, Mudita pernah dikunjungi
sekaligus mengembangkan jejaring dengan tokoh-tokoh dari Indonesia dan dunia internasional.
Ada tiga kepala negara yang pernah mengunjunginya, yakni Presiden Italia Sandro Pertini pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark pada 7 Januari 1988, dan Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri pada 31 Desember 2001. Ia juga menjalin jejaring dengan A A Teeuw, ilmuwan Belanda yang berdedikasi tentang riset sastra di Indonesia. (Eka Parananda/balipost)