Sejumlah pemulung berada di TPA Suwung, Denpasar. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menghirup bau busuk menyengat adalah derita bertahun-tahun yang mesti ditanggung warga sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Penyakit
pernapasan menghantui sepanjang waktu.

Ironisnya, tidak ada kompensasi seperti jaminan kesehatan yang diberikan kepada mereka. Maka, wacana penutupan TPA seperti angin surga yang selalu dinantikan.

Kelian Dinas Banjar Pesanggaran Putu Sucipta, Jumat (30/5) mengatakan, keberadaan TPA Suwung di wilayahnya memberi penderitaan panjang. “Debu sampai ke jalan raya dan ke rumah penduduk di sekitar Pesanggaran. Bau menyengat yang terasa pahit dan gas beracun yang dihasilkan. Belum lagi kebakaran yang sering terjadi sangat membahayakan lingkungan sebelahnya berupa depo Pertamina dan Pura Dalem Pesanggaran,” bebernya.

Selain itu, nilai ekonomis properti di sekitar TPA Suwung turun bahkan tak diminati karena air beracun dan bau yang merembes ke rumah penduduk dan laut. Hal itu pula sangat mengganggu ekosistem dan mata pencaharian nelayan tradisional Banjar Pesanggaran.

Putu Sucipta mengungkapkan, tidak ada kompensasi apapun dari Kota Denpasar dan Provinsi Bali baik jaminan kesehatan kepada warga Banjar Pesanggaran karena dampak TPA Suwung. Penutupan adalah angin surga yang selalu dinantikan.

Baca juga:  Masih 2 Digit, Kasus Harian Bali Lebih Banyak dari Sehari Sebelumnya

Ia mengatakan rencana penutupan TPA Suwung adalah angin surga.

“Kami sebut angin surga yang sudah tentu angin surga sangat sulit untuk dinikmati, karena dampak yang muncul dari TPA ini tidak memberi kontribusi apapun terhadap Banjar Pesanggaran sejak ada sampah sampai sekarang ini,” ujarnya.

Meski bagi penduduk pendatang di sekitar TPA, ada sedikit sisi positif juga yaitu menjadi sumber mata pencaharian bagi pemulung dan peternak babi, namun ia menilai dampak negatifnya lebih besar dan berbahaya.

Hirup Bau Tak Sedap

Di Karangasem, di mana TPA Butus berlokasi, derita warga tak jauh beda. Salah satu warga, Jro Mangku Made Tunas menuturkan, dirinya puluhan tahun setiap hari menghirup bau tak sedap.

“Saya hampir puluhan tahun menghirup bau tak sedap dari sampah di TPA Linggasana dan Butus ini. Karena sebelum dibukanya TPA Butus, lebih dulu TPA Linggasana,” katanya.

Baca juga:  Di Denpasar, 91 Persen Warga Sudah Lakukan Perekaman E-KTP

Ketika ada angin kencang, sampah plastik di TPA beterbangan sampai ke rumah-rumah warga maupun Pura terdekat. “Tak hanya bau saja, akan tetapi lalat hijau juga banyak ketika musim hujan. Mungkin karena banyak berkembang biak, sehingga banyak lalat yang muncul sampai ke rumah,” tandasnya.

Masyarakat Desa Pikat Klungkung dimana TPA Sente berlokasi mengeluhkan hal serupa. Warga setempat, I Ketut Mandia, mengatakan, warga harus rela mencium bau busuk, hidup dengan kerumunan lalat, hingga gangguan pernapasan ketika TPA Sente terbakar.

Derita yang dirasakan warga sekitar TPA seperti jerit resah yang terpendam dalam. Buktinya, keberadaan TPA meski sudah jelas overload, tidak kunjung ditutup. Bahkan kompensasi nyaris nihil.

Mandia mengatakan ketika gunungan sampah sudah makin tinggi hingga belasan meter, masyarakat setempat pun tidak bisa menoleransi lagi. “Pemerintah pusat tahun ini sudah mengisyaratkan untuk menutup seluruh TPA.

Selama 30 tahun masyarakat kami memberi ruang untuk berpikir agar bisa mengatasi persoalan sampah, tetapi selama itu juga, yang ada hanya kajian-kajian. Belum juga terlihat hasil
kajiannya,” terang Ketut Mandia, Kamis (29/5).

Baca juga:  Satu Bangunan, Mobil, dan Sanggah Ludes Dilalap Api

Harapan penutupan TPA disampaikan masyarakat Desa Pikat Klungkung dimana TPA Sente berlokasi. TPA Sente seharusnya
sudah ditutup total sejak tahun 2017. Namun, aktivitas pembuangan sampah tetap terjadi hingga awal tahun ini.

Penutupan TPA dipastikan membawa kebahagiaan bagi warga sekitar. TPA Sente di Klungkung yang sudah tidak lagi menerima sampah, membuat warga jauh lebih tenang.

I Nengah Suarka, warga sekitar TPA, ditemui di sela-sela aktivitasnya di sebuah tegalan, masih mengingat betul kepulan asap tebal setiap hari amat mengganggu.

Seringnya areal TPA ini kebakaran, bahkan saat itu memaksa warga harus mengungsi ke tempat kerabat yang lebih aman. Awal tahun 2024 sampai Oktober 2024, menjadi momen berat, dimana kebakaran areal TPA Sente terus menerus terjadi.

“Sekarang sudah tidak pernah lagi terjadi kebakaran. Kalau dulu, setiap kebakaran, kepulan asapnya sangat mengganggu. Karena
asap tebal itu masuk ke rumah-rumah,” terang Suarka, Kamis (29/5). (Citta Maya/Eka Parananda/Bagiarta/balipost)

BAGIKAN