DENPASAR, BALIPOST.com – Moratorium pembangunan akomodasi pariwisata mulai dari hotel, vila, diskotek hingga beach club jika telah menjadi keputusan, perlu dimbangi penegakan aturan yang tegas.
Ketua BTB IB Agung Partha Adnyana, Kamis (5/9) mengatakan adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran izin pembangunan menjadi kunci keberhasilan moratorium. Sanksi yang berat dan konsisten perlu diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar aturan.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan pelanggaran sangat penting. Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan instansi terkait lainnya sangat krusial.
“Kebijakan moratorium pembangunan hotel dan vila di Sarbagita dapat diterapkan, namun hal ini sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah pusat dan daerah serta pelaksanaan regulasi yang ketat,” ujarnya. Menurutnya, moratorium pembangunan akomodasi di Sarbagita dapat mengurangi beberapa masalah pariwisata Bali, namun bukan solusi tunggal.
Pentingnya penegakan aturan juga disampaikan akademisi Fakultas Hukum Unwar, Dr. I Wayan Rideng. Menurutnya, masih diberlakukannya UU No.5 Thn 1960 tentang UU Pokok Agraria, Keberlakuan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. termasuk Perda Prov. Bali No.9 Tahun 2012 tentang Subak, perlu perlu ditinjau. “Bilamana sudah tidak relevan dengan kekinian atau perlu adanya law enforcement agar setiap orang atau badan hukum menaati dan mematuhinya,” tegasnya.
Ke depan perlu disinergikan terhadap berbagai bentuk pengaturan yang “kurang” sinkron antara pemerintah pusat dan kondisi existing di daerah. Alih-alih menarik investor, untuk pengembangan pariwisata masyarakat Bali menuai permasalahannya. “Kita tidak berharap, para generasi kita hanya mendengar di Bali ada Subak, yang salah satu unsurnya ada lahan persawahan (palemahan), yang kini berdiri vila-vila dan hotel sebagai pendukung akomodasi pariwisata telah menutupi salah satu keindahan Pulau Bali,” katanya.
Partha mengatakan moratorium bisa membantu menahan alih fungsi lahan yang masif, mengurangi kepadatan infrastruktur, dan melindungi lingkungan yang terancam. Oleh karena itu, moratorium harus didukung oleh kebijakan lain yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk secara efektif mengatasi masalah pariwisata Bali.
Menurut Partha, moratorium tetap relevan untuk dilakukan karena, kerusakan masih dapat diperbaiki. Meskipun kerusakan sudah terjadi, masih ada peluang untuk memperbaiki dan memulihkan kondisi lingkungan.
Moratorium akan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah di masa depan. Peluang untuk membangun kembali pariwisata yang berkelanjutan. Moratorium dapat menjadi momentum untuk membangun kembali pariwisata Bali yang lebih berkelanjutan dan berorientasi pada kualitas.
“Kebijakan moratorium pembangunan hotel dan vila di Sarbagita dapat diterapkan, namun hal ini sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah pusat dan daerah serta pelaksanaan regulasi yang ketat,” ujarnya.
Jika diterapkan, moratorium ini merupakan langkah penting dalam mengendalikan pembangunan akomodasi dan menjaga keseimbangan lingkungan dan tata ruang di wilayah Sarbagita yang semakin terancam oleh alih fungsi lahan akibat pembangunan yang cepat.
Beberapa manfaat pelaksanaan moratorium di Sarbagita yang dapat diperoleh antara lain, moratorium memberikan waktu bagi ekosistem yang rusak untuk pulih. Dengan mengurangi jumlah wisatawan, kualitas pelayanan dan pengalaman wisata dapat ditingkatkan.
Moratorium juga memberikan kesempatan untuk melakukan perencanaan tata ruang yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Pencegahan kerusakan lingkungan lebih lanjut. Moratorium dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa depan.
Menurut Akademisi Fakultas Pascasarjana Unwar I Wayan Rideng, arus globalisasi yang speed nya cepat, ternyata antisipasinya lamban. Sebagai dosen ilmu hukum, Rideng mencermati tatanan penyiapan berbagai bentuk regulasi.
Pembangunan pariwisata bersentuhan dengan berbagai aspek, tidak saja aspek ekonomi namun beririsan aspek sosial dan lingkungan. Membanjirnya kedatangan wisatawan suatu waktu akan membawa permasalahan. Mulai dari kemacetan hingga masifnya berdiri vila-vila pada wilayah yang tidak terkendali, bahkan menggerus lahan yang produktif yaitu area persawahan.
Keindahan Pulau Bali, telah menyihir para investor untuk bermimpi memiliki usaha di Bali, tanpa berpikir budget yang mesti dirogoh dari kantongnya. Tanpa sadar terhadap hal itu, akan dapat mengancam keberadaan lembaga Subak sebagai kearifan lokal, dan lapangan kerja para petani. Lebih lanjut Wayan Rideng, menyoroti terhadap pesatnya kepariwisataan perlu di fasilitasi penyediaan pengaturan/perangkat hukum. (Citta Maya/balipost)