Made Artana. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Perkembangan digitalisasi membutuhkan kebutuhan tenaga programming yang banyak. Namun kebutuhan tersebut tak mampu dipenuhi, terutama di Bali karena belum didukung ekosistem digital baik.

Rektor Universitas Primakara, Made Artana, Rabu (9/8) mengatakan, Bali darurat programmer karena sulit mencari tenaga kerja. Hal itu disampaikan karena dari banyaknya lowongan pekerjaan untuk programmer namun kebutuhan tersebut tidak mampu dipenuhi.

Ia mencontohkan saja, Canggu telah menjelma menjadi surganya digital nomad, bahkan menduduki posisi nomor 2 tempat yang dituju digital nomad. Selain itu, saat pandemi wilayah ini tetap hidup dengan adanya pelaku digital nomad.

Walaupun mereka tidak berani menunjukkan diri karena ke Bali dengan visa turis, namun dari Bali, khususnya Canggu, mereka bekerja secara remote dan tetap menghasilkan uang sambil berlibur.

Baca juga:  300 Siswa di Kediri Tak Tertampung di Sekolah Negeri

Ketersediaan tenaga programmer menurunya karena tidak banyak yang mempunyai kompetensi programming. Sementara banyak lulusan di bidang IT, namun sedikit yang betul-betul melatih diri menjadi programmer.

“Belajar programming sudah dipersepsikan sulit sama seperti matematika. Makanya banyak yang menghindari. Maka dari itu, kami menghidupkan komunitas programming di kampus agar membuat programming itu menyenangkan,” ujarnya.

Selain itu menurutnya yang menyebabkan programmer semakin langka karena adanya banyak lowongan kerja dari luar negeri dengan sistme kerja remote (tidak perlu ke kantor). Dampaknya, industri dalam negeri semakin kekurangan talenta-talenta programmer.

Di samping itu, perusahaan di luar negeri juga menggaji profesi programmer dengan salary yang tinggi. Perusahaan di luar negeri juga diuntungkan dengan merekrut programmer di Indonesia karena salary lebih murah dengan bekerja secara remote yaitu dari USD 3.000-USD 4.000 menjadi hanya USD 1.500.

Baca juga:  Dari Bibit Rp300 Ribu, Anggrek Dasi Milik Lulus Dibanderol hingga Ratusan Juta

“Anak-anak kita zaman sekarang juga banyak yang ingin bekerja secara remote sehingga Perusahaan di Indonesia yang memiliki budaya kerja mesti ke kantor, menjadi tak mampu memenuhi kebutuhan tenaga programmer ini ini,” tandasnya.

Terlepas dari Canggu menjadi tempat yang dituju pelaku digital nomad, Bali juga memiliki modal dalam digitalisasi. Bali menduduki posisi nomor 4 di Indonesia dari sisi kesiapan digital, infrastruktur yang mendukung digitalisasi juga menempatkan posisi nomor 2 terbaik karena blank spot sedikit dan koneksi internet cukup kencang.

“Gelombang ekonomi digital tidak bisa kita hentikan. Perubahan besar yang akan datang jangan ditolak tapi kita justru harus belajar berselancar di dalamnya,” pungkasnya.

Baca juga:  Jelang Lebaran, Denpasar-Gilimanuk akan Steril Kendaraan Barang Nonlogistik

Dalam membangun ekosistem digital selain infrastruktur dan SDM/talent juga diperlukan budaya, regulasi, permodalan, pasar, dan dukungan. Pemerintah harus mendukung ekosistem digital dengan membuat pola atau system yang mendukung pengembangan ekosistem digital.

Seperti yang terjadi di Canggu. Perkembangan digital nomad tak bisa dibendung namun diharapkan pemerintah membuat regulasi yang tepat agar dapat memberi keuntungan bagi pelaku digital nomad dan juga bagi Bali sendiri.

Menghadapi tantangan perkembangan jaman ke depan, diakui ia mantap mempersiapkan kebutuhan tenaga IT untuk memenuhi kebutuhan industry. Tidak hanya siap dalam profesi di bidang IT tapi juga memiliki bekal entrepreneurship. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN