Dokumentasi - Sidang pemeriksaan ahli yang dihadirkan pihak pemohon (pihak Prof. Antara) terkait praperadilan penetapan tersangka Prof. Antara, Kamis (27/4). (BP/Asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hakim praperadilan, Agus Akhyudi membacakan putusan sela atas praperadilan yang diajukan Rektor Unud, Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., Kamis (27/4). Dalam putusan sela, hakim menolak eksepsi termohon, dalam hal ini Kejati Bali.

Sehingga sidang dilanjutkan dengan pengajuan bukti dan pemeriksaan saksi dan ahli. Pihak pemohon, yang diwakili Sukandia dkk., menghadirkan saksi dari Universitas Siliwangi dan juga empat orang ahli.

Sidang pun berlangsung hingga petang. Dan dalam sidang, disebut penetapan Prof. Antara sebagai tersangka masih prematur.

Muhammad Adi Khairul Anshary, dari Universitas Siliwangi mengatakan terkait penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri, yang membayar SPI, mahasiswa yang dinyatakan lulus dan mulai registrasi. “Pembayaran melalui sistem, dan setelah pembayaran SPI maka ia akan mendapatkan NIM. Pembayaran SPI ini dilakukan pada saat registrasi. Sementara, terkait dana SPI, semuanya masuk ke satu rekening dan tidak bisa diambil sembarangan,” ucapnya.

Baca juga:  Oknum Notaris Diadili Kasus Penggelapan

Sementara itu, ahli dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang menjelaskan soal keuangan negara. Dia menyatakan, dalam menentukan adanya indikasi kerugian keuangan negara, dilakukan audit investigatif.

Jadi audit investigatif ini dapat mengungkap dan memberikan simpulan apakah dalam pengelolaan keuangan ini ada indikasi kerugian, berapa jumlah kerugian secara pasti. Artinya harus berdasarkan nilai yang valid. “Yang melakukan audit investigatif harus dilakukan oleh badan yang berwenang, bukan dari badan yang tidak berenang. Jika audit dilakukan bukan dari lembaga berwenang, tentu menjadi tidak sah,” katanya dalam persidangan.

Menurut dia, BKP dan BPKP lah yang berwenang menilai kerugian negara. “Kerugian negara itu harus nyata dan pasti sesuai hasil audit dari lembaga resmi. Begitu juga, kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Tidak bisa berdasarkan indikasi potensi, imajinasi, dan harus sesuai hasil audit,” bebernya.

Baca juga:  JPU Sebut Mantan Rektor Unud Giring Opini ke Perebutan Kekuasaan

Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia menegaskan penetapan tersangka, wajib didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang bersifat nyata dan faktual. Bila suatu kasus memang belum ada perhitungan, yang mana hanya dilakukan oleh penyidik, sehingga penetapan tersangka ini menjadi tidak sah.

“Kalau memang faktanya tidak ada penghitungan kerugian dari lembaga berwenang, artinya itu tidak sah penetapan tersangkanya. Sebetulnya keputusan MK itu penyidik boleh menghitung, namun harus berkoordinasi dengan lembaga berwenang. Harusnya ada permohonan resmi dari penyidik untuk penghitungan kepada lembaga. Kemudian hasilnya itu akan jadi laporan bukti surat. Bukan menghitung sendiri apalagi nilainya miliaran,” ucapnya.

Ahli Hukum Administrasi dari UGM, Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyebutkan kalau yang namanya kerugian keuangan negara, harus nyata dan pasti. Maka dari itu, barus benar-benar dibuktikan dan itu harus diaudit oleh lembaga yang berwenang. Yakni lembaga BPK sebagai lembaga konstitusional yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan audit kerugian keuangan negara.

Baca juga:  Optimalkan Penerimaan Pajak, Dewan Dorong Restoran Dipasangi Taping Box

Ahli terakhir adalah Dewa Gede Palguna. Ia mengatakan sesuai keputusan MK Nomor 25 tahun 2016, yang di sana dikatakan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu tidak bertentangan dengan konstitusi.

Bahwa menurut konstitusi, kerugian negara itu harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang. “Oleh karena itu audit tidak boleh dilakukan sendiri di luar BPK, BPKP dan lembaga berwenang lainya,” ucap pria asal Bangli itu. (Miasa/balipost)

BAGIKAN