Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Hedonisme berasal dari bahasa Yunani Hedone yang berarti kesenangan. Hedonisme sebagai sebuah aliran yang diperkenalkan sekitar 433 SM tersebut
kemudian dilanjutkan oleh filsuf Epikuros yang menegaskan bahwa mencari kesenangan adalah kodrat alamiah manusia.

Artinya tidak ada satupun manusia di dunia ini ingin mencari kesedihan. Namun sebaliknya, kita semua ingin selalu mencari kesenangan atau kebahagiaan, baik kebahagiaan jasmaniah ataupun rohaniah. Filsafat hedonisme ala Epikuros tersebut sesungguhnya lebih pada mencari kesenangan bukan hanya jasmaniah
namun juga batiniah untuk mencapai kebebasan
dari kegalauan.

Hanya saja makna hedonisme yang berlaku
di masyarakat tampaknya menjadi menyempit,
yang mana hedonisme identik dengan hidup yang
penuh kesenangan dan kenikmatan duniawi yang
ditunjukkan melalui pamer kekayaan dan kemewahan seperti plesir ke tempat-tempat luxurious, berfoya-foya, dan berkelimpahan dengan kepemilikan koleksi barang-barang mewah seperti rumah, mobil, jet pribadi, dan mempertontonkannya kepada publik.

Karena para hedonis beraliran kesenangan dan kenikmatan, hidup mereka cenderung selalu terasa lebih enak dan nyaman, serta ingin mempertontonkan kelebihannya tersebut melalui pamer, sehingga orang hedonis biasanya terkesan sombong.

Baca juga:  Fenomena Hedon Anak Bali

Gaya hidup para hedonis umumnya dikaitkan dengan para artis, karena mereka sering dituntut oleh profesinya untuk menampilkan dirinya secara glamor. Hanya saja berbagai kasus yang belakangan sedang disorot publik menunjukkan gaya hidup beraliran hedonisme yang justru ditunjukkan oleh para pejabat publik dan keluarganya.

Para pejabat publik yang digaji oleh negara memang berhak untuk menikmati kesenangan atas gaji yang diperoleh bersama keluarganya, sepanjang itu tidak melanggar asas kedisiplinan ASN atau tidak menggunakan uang negara alias korupsi.

Di samping itu, ada asas kesederhanaan yang
harus ditampilkan oleh mereka sebagai bagian
dari khalayak Indonesia yang kebanyakan berada
pada golongan menengah ke bawah. Mereka hendaknya mampu menjadi model kesederhanaan
dalam berpenampilan, maupun dalam gaya hidup.

Salah satu kasus yang paling anyar adalah gaya hidup hedonis yang ditunjukkan oleh seorang anak muda, yang masih berstatus pelajar, yang kebetulan anak seorang pegawai pajak. Sebagai seorang pelajar yang belum memiliki mata pencaharian, tentu tidak masuk akal bergaya hidup hedonis, karena yang bersangkutan belum memiliki penghasilan sendiri.

Baca juga:  Mewujudkan Bali Terintegrasi

Gayanya yang arogan dan petantang-petenteng
memamerkan kekayaan orangtua berdampak pada kesombongan yang akhirnya menyebabkan
dirinya berurusan dengan pihak berwajib gara-gara terlibat kasus penganiayaan seorang anak remaja.

Kasus yang menimpa anak muda dengan gaya hidup hedonis ini akhirnya menjadi boomerang bagi keluarganya, yang menyebabkan orangtuanya harus berurusan dengan KPK dan diberhentikan dari jabatannya karena diduga ada indikasi korupsi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa gaya hidup hedonis cenderung berkorelasi dengan korupsi.

Korupsi adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum, yaitu tindakan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang tidak benar, mulai dari jenis korupsi ringan (petty corruption) seperti suap dan gratifikasi sampai pada korupsi besar (grand corruption) seperti pencucian uang (money laundry), atau kasus-kasus besar lainnya yang merugikan negara.

Baca juga:  Meneguhkan Ekonomi Kebudayaan Bali

Bagi pegawai negeri yang bergaji hanya dalam hitungan puluhan juta, namun memiliki kekayaan berjumlah puluhan atau bahkan ratusan miliar, apalagi kalau didapatkan dalam waktu yang singkat tentu menimbulkan kecurigaan adanya kecenderungan korupsi.

Dengan demikian, sudah seyogyanya para pejabat publik atau ASN yang digaji oleh pemerintah tidak menunjukkan gaya hidup hedonis, tetapi sebaliknya, bersahaja. Sebuah gaya hidup yang penuh kesederhanaan.

Bergaya hidup sederhana bukan berarti mempertontonkan kemiskinan, tetapi bergaya sesuai dengan kemampuan. Tidak menunjukkan sikap konsumtif yang berlebih-lebihan di muka umum, tetapi sikap peduli dan sensitif bahwa masih banyak masyarakat yang berkekurangan, sehingga akan lebih baik uang berlebih yang dimiliki didonasikan bagi mereka yang memerlukan.

Selamat hari raya Nyepi Tahun Çaka 1945, semoga semua makhluk berbahagia.

Penulis, Guru Besar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN